Sabtu, 18 Oktober 2008

You Are Alone



Menyerah..? Untuk Apa?

Pegunungan tinggi kerap bukanlah arena petualangan yang nyaman. Bahaya selalu mengintai mereka yang lengah dan under estimate terhadap kekuatan monster alam ini. Cuaca buruk dan beratnya medan membuat setiap kesalahan kecil saja dapat membawa resiko maksimal. Dapat dimengerti bila majalah Forbes memasukkan pendakian gunung ke dalam salah satu olahraga paling berbahaya di muka bumi, setara dengan suatu pertarungan hidup mati dengan seekor banteng.

Bahaya yang mengintai tidak hanya berupa objective danger namun juga subjective danger. Siapapun berpeluang melakukan kesalahan bila berada dalam kondisi ekstrem di pegunungan tinggi. Membawa carrier dalam kondisi keletihan luar biasa, meniti bebatuan yang rapuh dan tajam serta tak terlindung dari angin kencang dan suhu beku. Di saat seperti itu hanya upaya sendirilah yang membawa pendaki tetap ke puncak. Solidaritas merupakan hal yang baik di dalam tim namun upaya diri sendiri untuk berjuang sangat dijunjung tinggi.

Di saat itu Tuhan telah menyerahkan takdir kepada kita sendiri untuk bertahan atau tidak. Upaya sendirilah yang paling menentukan hidup atau mati kita dalam situasi demikian. Setiap orang dituntut berjuang sendiri sampai denyut nadinya yang terakhir.

Pertarungan antara kekuatan manusia dengan alam, itulah yang sedang terjadi saat itu. Tak ada yang lain. Tak ada teman dan tak ada keluarga yang menemani pergulatan itu. Tak ada nasionalisme, tak ada loyalitas perhimpunan maupun sivitas akademika. Tak ada benci maupun cinta. Kita terlepas dari semua ikatan dan emosi. Hanya sepi yang mengawang di sekitar, seolah hanya kita sendiri manusia di alam ini.

Seorang wanita Inggris, Gertrude Ederle, suatu ketika mencoba menyeberangi selat Inggris dengan berenang. Ia mengalami kelelahan puncak, kesakitan tak tertahankan, beberapa bagian tubuhnya kram dan beku. Pelatih dan keluarganya menangis memohon ia menghentikan usahanya. Namun ia tak menghiraukan semuanya dan setelah puluhan jam berenang ia berhasil melewati selat itu dan tercatat dalam sejarah. Ketika ditanya mengapa ia tak menyerah, Ederle menjawab’” Menyerah? Untuk apa?”.

Setiap olahragawan berpeluang mengalami saat kritis itu. Sebuah keletihan luar biasa yang telah diluar kemampuan fisik normal. Dalam hitungan logis saat itu tubuh sudah melewati batas kemampuannya dalam menerima tekanan fisik. Namun dunia olahraga memiliki keajaibannya sendiri. Di saat itulah dengan kemauan yang kuat sebuah bara yang entah dari mana mulai memercik, lalu membakar seperti api yang berkobar.

Daya dan motivasi yang ada di dalam jiwa jauh lebih kuat dari kekuatan alam apapun. Ketika keinginan untuk tak kalah itu semakin membaja, setapak demi setapak kita pun memperjuangkannya. Berjuang untuk diri sendiri. Hidup terlalu berharga untuk tak dipertahankan hingga nafas terakhir.

Itulah moment of truth yang tak akan pernah dilupakan seumur hidup. Lebih merupakan sebuah pengalaman batin dibanding pergulatan fisik. Dalam kesulitan seberat apapun, bila mengingat lagi saat-saat itu mereka akan selalu bangkit kembali. Dan tak terkalahkan.

Tidak ada komentar: