Sabtu, 18 Oktober 2008

Menembus Waktu di Gua Pawon

Barangkali masa lalu tidak berada di belakang dan masa yang akan datang tidak berada depan, namun keduanya saling berdampingan dengan kita di masa kini. dan akan selalu terus demikian menemani kita.

Bagi kebanyakan warga Bandung dan Padalarang, Gua Pawon hanyalah sekedar sebuah gua yang telah ada sejak dulu kala tanpa ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Bahkan hanya sebagian kecil saja masyarakat Bandung yang mengetahui keberadaannya sejak gua ini dinyatakan sebagai situs prasejarah yang dilindungi. Letak Gua Pawon terdapat di Pasir Pawon daerah Padalarang, Kabupaten Bandung, pada ketinggian antara 700 m di atas permukaan laut. Pasir Pawon merupakan bagian dari kawasan gugusan karst gunung Masigit yang terletak 25 kilometer sebelah barat kota Bandung.

Situs prasejarah

Gua Pawon terbentuk oleh proses geologi dalam waktu puluhan sampai ratusan ribu tahun yang lalu. Letak gua ini menghadap ke lembah yang subur sehingga merupakan tempat yang ideal sebagai tempat tinggal manusia prasejarah. Pada tahun 2000 di situs Gua Pawon telah ditemukan peninggalan prasejarah setelah melalui penelitian geofisika dengan metode geomagnetik. Penggalian lanjutan di tahun 2001 kembali berhasil menemukan kerangka dan tengkorak manusia prasejarah.

Manusia Pawon diperkirakan kelompok manusia prasejarah dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Mereka merupakan kelompok manusia pengembara yang menelusuri pantai Danau Bandung Purba sambil berburu binatang untuk makanannya. Hasil buruannya antara lain hewan seperti kerbau, babi hutan, rusa dan monyet.

Manusia Pawon kemungkinan hidup pada masa antara 10 – 6 ribu tahun yang lalu, yaitu Kala Plestosen akhir –Holosen awal.. Hal ini didasarkan pada artefak-artefak yang terkumpul dari beberapa tempat yang dulunya merupakan Danau Bandung Purba. Beberapa fosil manusia prasejarah yang mungkin hidup sezaman dengan manusia Pawon antara lain manusia Wajak di Indonesia, Hoabinian di Vietnam dan Minatogawa di Jepang.

Area berlatih

Setelah kawasan ini termasuk dalam cagar situs prasejarah yang dilindungi tentunya kini tak sembarang orang dapat leluasa keluar masuk Gua Pawon seperti dulu. Padahal sejak lebih dari dua dekade silam gua Pawon merupakan area berlatih caving bagi para pecinta alam di Bandung karena letaknya yang tak terlalu jauh dari kota. Disinilah mereka memperdalam skill caving seperti single rope, chimney, rescue dan sebagainya. Ilmu-ilmu dasar karstologi dan lingkungan gua juga dapat leluasa dipelajari dikawasan ini.

Bahkan area Gua Pawon yang berdekatan dengan tebing Citatah ini biasanya merupakan salah satu base camp dalam rute pendidikan dan latihan dasar mahasiswa di Bandung Barat. Base camp lain di kawasan Bandung barat ini antara lain tebing Citatah, Situ Ciburuy dan Bantar Caringin di aliran sungai Citarum. Long march menuju Gua Pawon dari gunung Burangrang atau Situ Lembang merupakan salah satu materi lapangan yang cukup menguras fisik dalam pendidikan ini. Demikian pula saat meninggalkan Pawon menuju tempat lain seperti Bantar Caringin ataupun Rajamandala.

Saat berada dalam area gua yang lapang, terbentanglah dari celahnya lembah yang subur. Tampak sungai Cibukur mengalir berkelok-kelok di area pesawahan tanpa pernah kering walau di saat kemarau. Area gua yang lembab dan agak gelap memberikan suasana temaram yang aneh. Sebagai orang awam dalam arkeologi maupun geologi, saya tak terlampau merasakan sensasi yang berlebih ketika ditemukannya peninggalan prasejarah di gua Pawon. Namun aura masa lalu di gua Pawon memang amat terasa sejak dulu.

Kesunyian masa silam

Ibarat kita mengunjungi kediaman seseorang, maka keberadaannya seringkali terasa walau pemiliknya tak ada. Demikian pula ketika kita berada di dalam gua Pawon yang telah dihuni selama ribuan tahun oleh manusia prasejarah. Dengan kontur gua yang relatif tak berubah selama ribuan tahun, maka ada aura kesunyian masa silam saat kita menghabiskan waktu di dalamnya.

Sensasi yang sama terasa ketika para petualang melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok tempat terpencil. Dalam kesunyian yang membisu, serasa ada pertalian yang tak kentara dengan para pionir sebelumnya. Kondisi alam yang relatif tetap sama selama ratusan tahun seperti menitipkan keabadian spirit para pendahulu. Alam adalah penyimpan yang teliti dan pengingat yang baik. Maka saya ikut merasakan semangat yang liar dan juga keharuan yang tragis ketika mendapati nisan-nisan para pendaki yang wafat dipeluk hawa beku pegunungan, atau saat melewati jeram-jeram liar di sungai yang pernah menelan korban.

Jauh sebelum para peneliti dan pemerintah meyakini keberadaan Gua Pawon sebagai situs prasejarah yang perlu dilindungi, para caver telah menyimpan respek yang dalam terhadap keberadaannya. Para petualang itu sadar bahwa mereka hanyalah tamu dari kesunyian agung masa silam. Dalam kapasitasnya sebagai tamu mereka menyadari betul etika menjelajah yang arif. Tak hanya di Gua Pawon, namun di semua tempat yang mereka jelajahi dengan kelapangan hati.

Mereka senantiasa merasakan pertalian yang aneh dengan masa yang silam, seakan masa yang telah lewat itu berada merambat di sampingnya. Tapi, bukankah itu yang kerap dirindukan oleh siapapun, yaitu kembali kepada masa silamnya. Saat dunianya masih polos dan hatinya masih terjaga.

Romantisme Pendakian ala Michaelangelo


Human interest adalah penjelajahan terbesar seorang petualang

Apabila anda seorang peminat olahraga mendaki gunung yang serius tentunya setelah pendakian pertama anda tidak kapok dan berhenti begitu saja, namun mencari informasi-informasi yang relevan untuk pendakian selanjutnya. Dan begitulah seterusnya sampai anda lupa telah berapa gunung yang didaki atau pendakian yang keberapa yang anda lakukan.

Setelah melakukan pendakian gunung yang pertama bahkan yang kesekian kalinya maka kita mulai mendapatkan gambaran yang obyektif tentang sebuah pendakian. Kita telah merasakan perlunya memperhitungkan waktu pendakian, perlengkapan standar untuk sebuah perjalanan yang nyaman berikut memahami safety prosedur sebuah perjalanan.

Because it is there?

Bagi seorang pendaki gunung sering terbersit pemikiran yang simpel, yaitu mendaki gunung cukuplah sebagai mendaki gunung. Tak perlulah seorang pendaki membuat dan memikirkan argumentasi sedemikian rupa untu menjelaskan kenapa mereka melakukannya. Toh, bagi orang awam apapun argumentasinya kegiatan mendaki gunung tetaplah dianggap hal yang tak masuk di akal.

Maka Sir George Leigh Mallory – hilang dalam expedisi Everest 1924 - hanya menjawab singkat setengah kesal “Because it is there..” saat ditanya kenapa ia ingin menaklukan puncak gunung. Segera saja umpatan singkat itu diimbuhi dengan seabreg filosofi pendakian yang berat dan populer hingga kini, walau sebuah rumor –yang tak perlu anda percayai- menyebutkan Sir Mallory saat itu sedang terburu-buru menuju ke toilet.

The Seven Summits

Pendakian kawasan dalam konteks internasional telah populer sejak beberapa masa lalu dimana para pendaki elite membagi belahan dunia ini ke dalam tujuh kawasan dengan masing-masing puncak tertingginya (seven summits). Salah satunya adalah kawasan Australia-Oceania dimana puncak tertinggi berada di Indonesia yaitu Carstenz Pyramid (4884 meter dpl) di Papua.

Sungguh tak ada salahnya bila dalam melakukan pendakian gunung di tanah air ini kita melebarkan minat pendakian ke kawasan nusantara lainnya. Tentunya akan banyak pengalaman baru di tengah karakter gunung yang berbeda bila kita mendaki gunung di kawasan nusantara yang berlainan. Sehingga akan didapatlah koleksi puncak-puncak kawasan yang akan lebih memperkaya wawasan pendakian seseorang.

Kawasan manakah yang dapat kita jadikan target pendakian kawasan di wilayah nusantara? Terserah anda, sebetulnya. Anda mempunyai penilaian subyektif sendiri untuk membagi-bagi nusantara ini ke dalam beberapa kawasan namun yang penting adalah setelah melakukan pendakian gunung di kawasan-kawasan yang berbeda tersebut maka anda mendapatkan suatu pencapaian tersendiri.

Namun tak ada salahnya bila kita membagi nusantara ini ke dalam tujuh kawasan kepulauan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali-Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Maka didapatlah tujuh puncak yang boleh-boleh saja kita katakan seven summits juga. Sehingga pendakian kawasan tersebut tentunya akan menjadi suatu khazanah pendakian tersendiri yang tak seorang pun akan menyangkal keanggunan pencapaiannya.

Explorasi Sang Maestro

Michaelangelo memahat patung demikian memikatnya karena ia melakukannya berbeda dengan pemahat patung lainnya. Seorang pemahat kala itu melihat pekerjaannya memahat sebagai upaya menyambung hidup atau sebuah expresi diri. Namun ketika Michaelangelo ditanya kenapa ia memahat batu, sang maestro dengan anggun bersabda “..Aku melihat malaikat dalam sebuah batu dan aku akan terus memahat sampai ia terbebaskan.”

Apakah anda telah mendengar bisikan-bisikan lembut undangan para malaikat untuk menuju puncak gunung yang suci, menyaksikan kesempurnaan ciptaan Sang Agung dan menikmati setiap peluh sebagai proses pensucian? Cukuplah anda menjawabnya secara anggun yaitu dengan segera melakukan packing perlengkapan pendakian gunung dan berangkat. Nah, lalu kapan akan anda memulai?

Pengorbanan Takkan Sia-sia

Di keheningan alam

Di tengah rimba sunyi

Kuberjalan seorang diri

Sbagai seorang kelana..

(Balada Seorang Kelana, Iwan Abdulrahman)


Pada tahun 1964 di puncak gunung Burangrang Iwan Abdulrahman muda menciptakan lagu Balada Seorang Kelana untuk empat rekannya yang sedang tersesat di gunung itu. Lagu itu dinyanyikan lewat radio untuk memberi dukungan moril bagi para pendaki yang tersesat yang juga mendengarkannya lewat radio. Saya dapat membayangkan kala itu gunung Burangrang masih merupakan hutan teramat lebat yang jarang dikunjungi manusia.

Saya dapat merasakan kegetiran Abah Iwan saat itu ketika menunggu nasib rekan-rekannya yang tersesat dalam rimba belantara. Tak ada yang paling menyedihkan dalam sebuah pendakian gunung selain rasa getir akan musibah yang dialami rekan perjalanan.

Kewaspadaan tinggi

Gunung Burangrang (2.064 meter) memang tidak terlampau tinggi dan cukup aman untuk didaki sehingga cocok untuk sekedar treking di seputar Bandung. Setidaknya ada tiga jalur yang dapat kita lalui untuk mencapai puncaknya, yaitu lewat Kertawangi (Pos Komando), Legok Haji dan Cisurupan. Namun sungguhpun merupakan gunung dengan tingkat kesulitan yang rendah, di gunung kita tak diijinkan untuk memandang sepele kondisi apa pun.

Pegunungan adalah suatu lingkungan yang menuntut kewaspadaan tinggi dan respek yang besar. Gunung yang ramah sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi monster yang tak terhentikan. Kehilangan konsentrasi ataupun kelalaian kecil saja dapat membawa resiko maksimal. Batu nisan pertanda meninggalnya seorang pendaki di puncak gunung Burangrang memberi peringatan bagi para pendaki untuk tetap bersikap waspada.

Saya pun merasakan kegetiran yang mendalam di seputar gunung ini, ketika seorang rekan mahasiswa roboh selepas long march dari gunung Burangrang. Saat itu tak ada lagi yang dapat lagi kami lakukan selain mengevakuasinya ke Rumah Sakit terdekat. Tuhan mentakdirkan lain saat itu, dua hari kemudian rekan kami dipanggil dalam usia yang teramat muda. Mungkin sekitar 19 tahun.

Pengorbanan takkan sia-sia

Peristiwa itu cukup mengguncang batin hingga saya mempertanyakan kembali manfaat kegiatan petualangan yang saya lakukan. Kepercayaan diri saya pada kegiatan petualangan melorot hingga titik nadirnya. Sekian lama saya terbayang-bayang sembilu yang menghujam hati seorang ibu saat harus menerima kenyataan kehilangan anak yang dikasihinya. Membayangkan genangan air mata kesedihan dari seorang wanita paruh baya yang telah membesarkan anaknya dengan susah payah dan tetesan darah.

Namun setelah lama merenungkan hal tersebut, akhirnya saya mempunyai pemikiran yang lain. Alih-alih berhenti dari kegiatan bertualang dan mendaki gunung, saya bertekad untuk belajar sekeras mungkin agar menjadi petualang yang berpengalaman. Hanya dengan demikian saya akan lebih berguna bagi rekan-rekan yang lain, terutama yang masih junior. Saya dan rekan-rekan yang lain berjanji pengorbanan itu tak akan sia-sia.

Kami pun menuntut ilmu hingga ke gunung-gunung tertinggi dan hutan-hutan yang kelam di pelosok nusantara. Seluruh kesakitan, rasa lelah dan lapar seakan tak pernah saya pedulikan sejak saat itu. Beberapa diantara kami harus merasakan roboh hingga diopname dalam berbagai penjelajahan ke medan petualangan. Entah kena muntaber, malaria atau typhus. Namun hanya dengan militansi demikian saya merasa akan mempunyai kemampuan untuk suatu saat dapat menolong orang lain.

Ketika dalam suatu pendakian di gunung Argopuro kami sempat menolong sebuah tim yang tersesat, sebuah kelegaan membuncah di hati saya. Semacam perasaan haru yang aneh menyeruak hingga terasa panas didalam rongga dada.. Tuhan memberi saya kesempatan untuk menggunakan pengetahuan yang saya pelajari untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Tak ada yang lebih indah dari kejadian itu hingga saat ini.

Menunggu Kereta Terakhir


Ekspedisi lebih merupakan penjelajahan suatu ide daripada eksplorasi
sebuah tempat




Lepas dari dunia petualangan di kampus dan memasuki dunia kerja merupakan suatu tragedi. Seperti menyiramkan air pada bara yang masih menyala-nyala. Dengan enggan kami melangkahkan kaki meninggalkan lingkungan kampus setelah sekian lama. Namun itu adalah bagian dari fase perjalanan. Kita tak dapat berhenti di satu titik waktu bila tak ingin dilindasnya.

Saya pun perlahan surut meninggalkan dunia petualangan. Seperti karang yang dulu tegak menantang yang semakin lama semakin hilang digerus ombak. Dunia kerja membawa saya mulai keluar masuk gedung pencakar langit di metropolitan, sementara pencakar langit yang sesungguhnya tetap kokoh diselimuti salju tanpa terjamah nafas kehidupan.

Rindu petualangan

Sementara itu ekspedisi-ekspedisi dari kampus tetap berlanjut secara bergelombang sejak itu. Antara lain ekspedisi ke Bukit Daya, Carstenz , Tolaki Ulu dan Malaysia. Saya gembira melihat rekan-rekan di kampus tetap atraktif melakukan petualangan. Namun saya menyimpan kecemburuan tersendiri pada petualangan-petualangan yang mereka lakukan. Saya rindu pada jiwa yang merdeka, imajinasi yang bebas, sikap penuh militansi dan larut dalam persahabatan. Saya hanya dapat membayangkan pacuan adrenalin itu dari balik meja kerja dan tumpukan kertas yang membosankan. Tak makan waktu lama bagi saya untuk segera terserang sindrom Senin pagi yang akut sejak mulai bekerja.

Tentu saya tak benar-benar hendak melupakan dunia petualangan. Setidaknya setahun sekali saya selalu mencoba menyempatkan diri naik gunung atau sekedar hiking. Namun sekedar untuk menyegarkan diri dari kehidupan kota besar. Lagipula waktu yang tersedia hanyalah di akhir minggu saja.

Ekspedisi terakhir

Saya merindukan sebuah penjelajahan yang kembali menguras adrenalin, setidaknya untuk yang terakhir kalinya. Saya mencoba rutin berolahraga, lalu setahun sekali melemaskan otot-otot ke pegunungan antara lain untuk memelihara kondisi agar suatu saat dapat kembali melakukan ekspedisi yang sesungguhnya. Di saat itu saya ingin melepaskan sisa-sisa energi dan ambisi yang tersisa.

Tentu saya maphum kondisi fisik sudah jauh dari prima. Pundak pasti tak kan lagi kuat memikul carrier 90 liter selama berhari-hari. Insting di pegunungan perlahan sudah memudar. Sementara tubuh pun kini semakin cengeng pada hawa menusuk dan guyuran hujan. Namun petualangan yang akan datang lebih merupakan sebuah perjalanan spiritual.

Saya merasakan momen itu akan datang pada suatu saat, seperti ketika kita di stasiun sedang menunggu kedatangan kereta yang terakhir. Yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu hingga saatnya tiba. Tak masalah pukul berapa kereta tiba karena kita tak sedang membicarakan waktu disini namun sebuah tempat tujuan. Kereta terakhir itu akan membawa saya ke tempat tujuan dan disaat kereta tiba akan ada rekan-rekan saya di dalam gerbongnya. Bersama mereka saya akan melakukan ekspedisi untuk terakhir kalinya.

Lewat Tengah Malam

Malam diciptakan untuk tidur


Bagi siapapun malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan terlelap, saat tubuh memulihkan kondisinya setelah seharian beraktivitas. Masa tesebut merupakan momen paling privat bagi setiap orang dimana ia tak mengharapkan adanya gangguan. Adrenalin dan sistem alert tubuh pun mencapai kadar terendahnya ketika malam semakin larut menuju dinihari. Tak heran bila momen ini menjadi waktu favorit bagi militer untuk melakukan serangan, di saat musuh sedang berkurang kewaspadaannya. Ingatkah anda pada serangan fajar ketika pasukan RI menyerang Yogya pada serangan umum 1 Maret? Maling pun memanfaatkan waktu ini untuk menjalankan aksinya, demikian pula para suami kerap menjalankan serangan fajar ini.

Namun saat masih larut di aktivitas outdoor, kita tak peduli pada pakem untuk beristirahat ini. Kondisi chaos di lapangan menuntut sistem alert tubuh terus berjaga. Untuk menikmati sunrise di puncak gunung, summit attack biasanya dilakukan dengan pola perjalanan malam atau serangan fajar. Demikian pula saat medan operasi, kegiatan kampus atau sekedar larut dalam suasana sekretariat.

Pola interaksi itu membuat ikatan pertemanan yang apa adanya. Kita menjadi nothing to lose dalam menampilkan kepribadian seadanya saja. Toh, muka sesegar apa yang diharapkan terlihat pada jam dua dini hari. Pikiran sejernih apa yang diharapkan tercetus pada jam 12 malam. Berita paling menghibur apa yang diharapkan terdengar dari dering telepon di tengah malam. Atau kopi senikmat apa yang bisa dihirup jam 4 subuh...Maka kita mungkin akan bisa mentolerir beberapa error dan malfungsi yang kadang muncul di saat-saat demikian

Terjaga di larut malam juga membuat kita bersentuhan dengan mereka yang mengais rejekinya hingga menjelang pagi. Di sela-sela menyantap roti bakar atau indomie rebus kala malam semakin membatu, kita menyaksikan dunia yang tak jua berhenti. Kebanyakan dari mereka datang dari strata ekonomi yang lemah, seperti pedagang kecil di pasar, tukang nasi goreng keliling, warung indomie, pemulung, hansip atau supir angkot yang ngalong. Dari mereka kita menyaksikan semangat baja untuk tak menyerah pada kerasnya kehidupan. Demi sesuap nasi, disaat yang lain sudah naik ke peraduan mereka tetap membanting tulang mengais selembar rupiah demi keluarganya.

Dulu hal kehidupan malam demikian adalah sesuatu yang wajar saja karena merupakan bagian dari keseharian. Setelah masa itu terlewati, waktu nine to five itu kini bisa dilewati dengan nyenyak. Delapan jam dilewati dengan tidur pulas dan bunga-bunga mimpi tanpa mengharap adanya interupsi. Entah apakah kini para mantan anak rembulan itu masih sempat melihat bulan yang bersinar cemerlang di larut malam. Apakah mereka masih sempat melihat terangnya Venus di ufuk Timur, dan kembali menjadi saksi cerita-cerita misteri di kampus.

Namun saya yakin, walaupun era itu telah lama berlalu semangat persahabatan tetap bersemayam. Dan spirit itu lah yang akan mengatasi berbagai ketidaknyamanan yang terasa bila muncul situasi. Entah sebuah berita darurat atau sekedar curhat. Berbeda dengan dulu, kini tentu saja ada sedikit rasa sungkan saat akan menghubungi sejawat di larut malam untuk meminta pertolongan. Saya pun akan sedapat mungkin menyelesaikan kesulitan tanpa merepotkan orang lain.

Namun sebetulnya it’s ok .. it is very very okay ... bila kita harus membangunkan sejawat di malam buta sekalipun karena sebuah kesulitan. Tanpa ada pamrih apapun, mereka akan bergegas datang walau harus menerpa badai sekali pun. Itu adalah sebuah kekayaan tersendiri, salah satu paling berharga yang kita miliki. Senjata terakhir yang tak setiap orang memilikinya. Saya tak akan mengijinkan sekedar rasa ketidaknyamanan merampas hal itu. Lee Iacocca, seorang CEO termasyur, berujar “My father always used to say that when you die, if you’ve got five real friends, then you’ve had a great life.

Jadi, berbahagialah bila pada suatu malam yang telah membatu, sebuah dering ponsel atau SMS dari seorang rekan mampir di kehidupan anda. Sebuah suara tergesa-gesa, informasi yang kabur, atau bahasa yang tercekat-cekat. You still have a friend...

Mendaki dengan Kerendahan Hati

Kerendahan hati mengalirkan kebaikan


Mendaki gunung adalah peristiwa yang menakjubkan. Bagi mereka yang pernah berdiri di puncak tertinggi, pasti merasakan hati yang berdesir saat menyaksikan salah satu pemandangan paling menakjubkan seumur hidupnya. Sensasi untuk berdiri di titik paling tinggi merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang tak terungkapkan. Semua rasa lelah dan penderitaan dalam menempuh perjalanan berat penuh bahaya seolah tiada berarti.

Selama dalam perjalanan maupun saat di puncak, akan terbukalah mata hati betapa kecilnya manusia dibanding keperkasaan alam dan Sang Pencipta. Siapapun akan tertegun melihat landscape keindahan tiada tara yang dapat disaksikan dari puncak gunung. Karya arsitektur manusia paling memukau sekalipun seperti tak berharga dibandingkan kontur alam yang menakjubkan ini. Menyaksikan sun rise dari puncak gunung adalah momen paling sulit untuk membendung takjub, terpukau oleh fenomena yang mengaduk-aduk emosi.

Alangkah tak wajar bila seorang pendaki malah menjadi tinggi hati setelah melakukan pendakian. Bukankah hanya dengan keramahan dan kelembutan alam saja seorang pendaki dapat menapaki jalan ke puncak. Banyak pendakian yang berakhir tragis, saat alam menjadi tak ramah. Sanggupkah kiranya mahluk lemah seperti manusia berkutik menghadapi kekuatan alam yang tak tertakar? Seorang pendaki sejati pulang dengan kerendahan hati yang semakin membuatnya terpekur.

Edmund Hillary yang merupakan pendaki pertama yang mencapai puncak tertinggi di dunia adalah sebuah contoh kerendahan hati itu. Ia selalu menyebut dengan “kami” dalam pemuncakannya yang legendaris di Everest. Baru sekian tahun setelah Tenzing Norgay – sherpanya saat detik-detik pemuncakan Everest- meninggal, Hillary mengakui bahwa ialah yang pertama mencapai puncak tertinggi di dunia itu.

Hilary pun tak sekedar mendaki Everest, yayasan Himalayan Trust yang didirikannya membantu membangun rumah sakit, sekolah, sarana kesehatan, jembatan bahkan landasan pesawat yang sangat membantu masyarakat sherpa di Kumbu, Nepal. Hingga akhir hidupnya Hillary tetaplah seorang yang rendah hati dan gemar hidup sederhana.

Padahal pendaki yang memiliki raut muka sekeras batu karang ini bagai pusaka nasional di negaranya, Selandia Baru.

Kata-katanya amat berpengaruh dan dihormati. Ratu Inggris menganugerahinya gelar Sir dan wajahnya pun diabadikan dalam lembaran kertas lima dolar mata uang Selandia Baru. Para pemandu profesional yang biasa mengantar tim ke Everest pernah kelabakan ketika Hillary mengkritik komersialisasi Everest dan menyebutnya sebagai “penghinaan pada gunung tersebut”. Sang legenda Everest ini begitu menghormati Himalaya dan kehidupan di sekitarnya. Sir Edmund Hillary wafat tanggal 11 Januari 2008 lalu dengan meninggalkan banyak kenangan dan jejak kebaikan.

Saya rasa tak penting menceritakan berapa kali kita telah mendaki sebuah gunung atau kemana saja kita telah melakukan pendakian. Namun apakah kita menjadi pribadi yang lebih baik setelah melakukannnya. Apakah kita telah memberikan manfaat bagi sesama dan menjadi pribadi yang indah bagi orang lain. Saya teringat segelintir pahlawan yang selalu enggan membicarakan jasa-jasanya bila ada yang bertanya. “Biarlah Tuhan saja yang menilai”, tuturnya. Menakjubkan.

Sang Penakluk dan Sang Pencinta

Kau tidak pernah menaklukan sebuah gunung.

Kau hanya berdiri di puncaknya selama beberapa detik.

Kemudian tiupan angin menghilangkan jejak-jejak kakimu.



Ide untuk menaklukan alam merupakan obyek pemikiran manusia yang abadi. Manusia seakan tak rela ada kekuatan besar yang membuat ego mereka seperti tak berdaya. Maka berangkatlah para pionir dengan gagah berani untuk menaklukan final frontier dimanapun di segala penjuru bumi. Alam yang ganas harus dapat ditaklukan untuk kemaslahatan umat manusia. Seakan bumi yang lapang terlalu sesak bagi dua kekuatan besar alam dan manusia untuk saling berbagi. Seakan hanya boleh ada satu kekuatan saja yang dapat menguasai bumi, yaitu manusia.

Namun para petualang dan pionir yang pergi menjelajah bukannya tak menyadari kepongahan awal mereka. Para pemberani itu segera mendapatkan hikmah dari penjelajahannya bahwa alam tak dapat dilawan bahkan ditaklukan, manusia hanya bisa berdamai dengan kekuatannya. Yang perlu ditaklukan adalah ego yang menguasai diri manusia itu sendiri, dan alam adalah guru yang baik untuk mengajarkan hal itu. Sir Edmund Hillary – pendaki pertama yang mencapai Everest - menyadari betul hal itu ketika berkata ,” It is not the mountain we conquer, but ourselves...”.

Para penakluk

Kutub Utara berhasil ditaklukan oleh Robert Peary pada tahun 1909 dan kemudian pada tahun 1911 Kutub Selatan menyusul berhasil ditaklukan oleh Amundsen. Ketika itu, Everest kerap dijuluki sebagai Kutub Ketiga yang merupakan kontur bumi paling menarik untuk dijelajahi. Setiap pendaki profesional mendambakan suatu saat dapat menaklukan puncak tertinggi di dunia itu.

Kemudian setelah Hillary dan Tenzing berhasil menjejakkan kaki mereka di puncak Everest, semua bertanya-tanya penjelajahan ekstrim apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Dick Bass dan Pat Morrow memunculkan wacana Seven Summits yang bertujuan mengoleksi tujuh puncak tertinggi di tiap benua. Adapula ide untuk mendaki keseluruh 14 “puncak kematian” di gunung-gunung berketinggian diatas 8000 meter di Pegunungan Himalaya.

Tercatat hanya lima orang pendaki di dunia yang berhasil mengoleksi keseluruh 14 puncak yang merupakan piala paling didamba para pendaki elite itu. Reinhold Messner, pendaki pertama yang berhasil memuncaki keempatbelas gunung kematian itu, menyebutkan bahwa tantangan sesungguhnya pada pendakian puncak 8000 meter adalah pendakian yang dilakukan tanpa alat bantu oksigen. Itulah batas ketahanan maksimal seorang pendaki. Entah ide “gila” apa lagi yang akan muncul kemudian untuk menjajal keperkasaan alam.

Menaklukan alam seperti mendaki puncak-puncak gunung merupakan ide yang menggoda para petualang. Namun jauh hari setelah melewati berbagai petualangan barulah mereka menyadari bahwa manfaat sebenarnya dari perjalanannya itu bukanlah masalah menaklukan alam, karena kekuatan alam terlampau besar untuk dilawan. Menaklukan diri sendiri merupakan pencapaian tertinggi dari perjalanan itu, dan Sang Alam lah guru yang mampu memberi petunjuknya.

Mencintai alam

Banyak pendaki yang pergi untuk menaklukkan puncak gunung hanya untuk suatu saat kembali padanya. Apakah anda hanya mendaki gunung Gede atau berarung jeram di sungai Cimanuk hanya sekali saja seumur hidup? Tidak, ada hasrat yang mendorong petualang kembali kesana. Mungkin ketika pertama kali melakukannya kita merasa tertantang untuk menaklukan puncak gunung setinggi 2.958 m atau jeram dengan grade 3-4 itu demi memuaskan ego. Namun ketika mendatangi untuk kesekian kalinya, baru kita tersadar bahwa rasa cintalah yang membawa kembali kesana. Dan ketika rasa cinta telah menjalari, tak sebersitpun terpikir untuk menaklukan. Hanya ada kerinduan yang sangat dan kegelisahan yang menyiksa untuk dapat bersua.

Para petualang menyadari hal itu sehingga tak pernah mengharapkan balasan apapun dari sang alam selain dapat sekedar kembali bercengkerama dengannya. Saya yakin bahwa ketulusan untuk mencinta tak pernah sia-sia. Maka ketika kita menjelajahi alam dengan rasa cinta alam yang sesungguhnya, alam pun membalas sepenuhnya.

Sang alam berbinar-binar ketika petualang melewati berbagai tempaan berat hanya untuk mendatanginya kembali. Siapakah yang tak bahagia didatangi oleh kekasihnya? Terkadang sang alam memang menghadirkan badai dahsyat dan bencana, bukan untuk mencelakakan namun hanya untuk memberikan kekuatan lebih pada petualang. Bukankah dengan demikian mereka akan menjadi lebih tabah, arif dan matang.

Cinta yang agung

Maka ketika ada insan petualang yang roboh di gunung tinggi atau tewas ditelan jeram, tak hanya sesama manusia yang meratapi kehilangannya namun sang alam pun menangis sendu. Sosok jenazah itu ia peluk dengan doa-doa dan keharuan yang mendalam sebelum sesama manusia menjemputnya untuk ditempatkan di peristirahatan yang terakhir. Hingga kini pun masih banyak sosok insan petualang yang gugur tak diketahui rimbanya. Barangkali sang alam masih teramat mencintai mereka dengan alasan yang tak dapat kita pahami.

Ada aura percintaan misterius yang terjalin antara sang petualang dan alam yang didatanginya. Mereka yang pergi melakukan petualangan seperti mendaki gunung atau mengarungi jeram berpikir telah melakukannya dengan cinta. Barangkali mereka tak pernah tahu bahwa sang alam menyayangi mereka dengan berlipat-lipat. Cintanya yang besar kepada manusia tak akan pernah habis. Ia bahkan selalu melindungi mereka dari kekuatannya sendiri yang maha penghancur.

Dan bila Tuhan memerintahkannya mengambil nyawa mereka, sang alam pun dengan bersujud membelai mereka sebelum menyerahkan nyawa para manusia terpilih itu pada Sang Pencipta. Sang alam melakukannya dengan tersenyum, karena saat itu ada cinta lebih besar yang datang bagi manusia. Ia tahu Tuhan memerintahkannya mengambil hidup manusia karena suatu kecintaan yang lebih agung dan tak tertakar. Lebih dari semua cinta yang dapat ia beri kepada manusia.