Sabtu, 18 Oktober 2008

Gunung Tambora, Raksasa dari Masa Lampau



Gunung yang angkuh mengundang orang menaklukannya

lembah yang ramah mengundang orang mendiaminya



Kiamat dari pulau Sumbawa

Kiamat memang tidak terjadi pada tanggal 10 April 1815, namun penduduk di sekitar kaki Gunung Tambora saat itu merasakan bagaimana bumi dilanda kehancuran yang mengerikan. Letusan yang empat kali lebih dahsyat dibanding letusan Krakatau pada tahun 1883 itu mengubur hidup-hidup 10 ribu penduduk di sekitarnya. Seluruh isi perut bumi seperti batu, cadas, debu panas sampai gas beracun dimuntahkan dalam salah satu amuk terdahsyat sepanjang sejarah gunung berapi.

Selama 10 hari letusannya Tambora melontarkan 400 juta ton uap belerang beracun dan 150 km3 ke angkasa. Awan ini menyebabkan pendinginan global dan satu tahun setelah itu di Eropa Barat dan timur laut AS dikenal sebagai tahun tanpa musim panas. Ladang jagung di Maine, AS musnah akibat beku. Ratusan hektar ladang anggur di Perancis dan Jerman juga mati.

Gunung yang terletak di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat itu belum lama ini menjadi obyek penelitian sejumlah arkeolog vulkanologi. Mereka merupakan tim majemuk dari Universitas Rhode Islands, Universitas North Carolina serta Direktorat Vulkanologi. Tim ini menemukan aneka peninggalan gerabah, tulang, dan perhiasan perunggu yang terkubur lebih dari tiga meter dalamnya. Beberapa penemuan awal menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara penduduk Tambora dengan Indo Cina.

Menurut hikayat nama Tambora berasal dari lakambore yang berarti mau kemana. Ada juga yang mengatakan bahwa tambora berasal dari kata ta dan mbora yang berarti mengajak menghilang. Konon dahulu ada orang sakti yang bertapa di gunung itu dan kemudian moksa sehingga tidak diketemukan lagi.

Sekitar wilayah Tambora sendiri merupakan daerah yang sangat indah. Tepat di seberang pesisirnya terdapat resort buru dan taman laut pulau Moyo yang dikelola Aman Group. Pulau yang sering dikunjungi kapal pesiar mewah ini merupakan hideaway resort kelas atas bagi wisatawan berkantong tebal.

Legenda yang tetap hidup

Gunung Tambora yang kini kembali dalam tidur lelapnya memiliki ketinggian 2851 meter dpl. Barangkali tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan gunung-gunung di Jawa sekalipun, yang memiliki banyak gunung “wajib didaki” bagi rekan-rekan di kampus alias berketinggian di atas 3000 meter dpl.

Bila diukur dari ketinggiannya kini, gunung Tambora jelas tidak terlalu merangsang sebuah naluri pendakian yang liar. Namun pesona Tambora rasanya terlampau sulit ditolak para pecinta romantisme pendakian. Anda mungkin sudah pernah menaklukan gunung-gunung tertinggi seperti Kerinci, Semeru, Rinjani maupun Latimojong. Tapi rasanya ada yang kurang bila melewatkan begitu saja monster dari masa lampau ini.

Pemandangan sepanjang perjalanan ke desa terakhir di Dusun Pancasila merupakan eksotisme tersendiri. Hamparan savana yang mirip suasana Afrika itu tak dijumpai di tempat pendakian lain. Belum lagi zona puncak yang sangat luas dan menakjubkan dengan kawah yang berdiameter sekitar 15 km2.

Mendaki gunung Tambora ibarat mengunjungi seorang begawan yang kini tetirah, sehingga wibawanya memaksa kita menjejakkan setiap langkah dengan penuh rasa hormat. Menapaki bibir jurangnya dapat kita rasakan aura kekuatan monster alam yang dapat membuat miris para pemberani sekalipun. Membuat kita semakin sadar bahwa alam tak dapat dilawan, manusia hanya bisa berdamai dengannya. Namun sayangnya hasrat manusia lebih sering mengusik kedamaian itu...

Tidak ada komentar: