
Berapakalipun mengarungi sungai, aliran nya tak pernah sama.
Sungai Cimanuk membentang dari mulai Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, hingga Indramayu. Daerah Aliran Sungai (DAS) nya memiliki luas hingga 631.796 hektare. Aliran sungai ini memiliki nilai historis dan sangat menentukan hajat hidup masyarakat di empat kabupaten yang dilaluinya. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa sungai Cimanuk telah dimanfaatkan sejak jaman kerajaan Pajajaran.
Nasib sungai Cimanuk kini tak lebih baik dari sungai Citarum. Masyarakat di daerah hilir mulai mengeluhkan kondisi sungai yang semakin memburuk. Luas lahan kritis di sekitar DAS Cimanuk mencapai 169.635 hektare. Kondisi ini tak lepas dari terjadinya degradasi lahan di kawasan hulu. Berbagai bentuk kerusakan hutan akibat perambahan dan penjarahan hutan di Kabupaten Garut merupakan penyebab utamanya.
Way of life
Dulu sekali para senior memperkenalkan saya kepada olahraga arung jeram dengan cara yang anggun. Pertama kali saya mengenal aliran sungai Cimanuk adalah dengan bermalam di tepi alirannya untuk menyaksikan kehidupan masyarakat di tepi sungai. Pada pagi hari, seperti biasa para pemecah batu melakukan pekerjaan sehari-harinya dengan mengumpulkan batu-batu sungai dari tepian Cimanuk lalu memecah-mecahkannya.
Beberapa perbincangan dengan masyarakat di sekitar aliran sungai merupakan kegiatan selanjutnya. Dari situlah saya mencoba memahami arti sungai bagi mereka. Bahwa sungai bukanlah sekedar aliran air, namun sebuah way of life bagi masyarakat sekitarnya. Karena itulah mereka menaruh rasa hormat yang besar pada alirannya.
Jeram-jeram Cimanuk
Setelah sungai Citarum dibendung, praktis tempat yang terbilang masih layak untuk latihan rafting di sungai itu hanyalah aliran sepanjang satu kilometer di daerah yang dikenal para dengan nama Bantar Caringin di desa Cisameang. Itu pun terbilang tidak membahayakan dan lebih cocok bagi pemula. Maka kebanyakan rafter di Bandung biasanya belajar arung jeram untuk pertama kalinya di Bantar Caringin, sungai Citarum. Disanalah mereka mulai mengenal karakter sungai dan kebesaran nama Citarum. Namun saya yakin di sepanjang jeram-jeram sungai Cimanuk lah mereka belajar lebih tentang keteguhan dan keberanian.
Para rafter akan selalu terpukau pada keliaran arus sungai Cimanuk yang membawa perahu meliuk-liuk di jeram dengan tingkat kesulitan grade 3 - 4 itu. Arus sungai Cimanuk yang liar akan memaksa rafter paling handal sekalipun berkonsentrasi mengerahkan segala kemampuan terbaik untuk bermanuver diantara jeram-jeramnya. Rute tradisional mengarungi sungai Cimanuk biasanya dibagi dua yaitu antara etape I dan etape II. Pembagian rute dimulai dari Jager hingga Leuwigoong untuk etape I, sementara etape II dimulai dari rute Leuwigoong hingga Sasakbeusi.
Tak siapapun yang dapat mengalahkan keliaran arus sungai Cimanuk, kita hanya berkelit diantara otot-otot kekuatannya. Bagaimanapun juga arus sungai merupakan aliran energi alam yang tak terukur kekuatannya. Manusia tak pernah benar-benar tahu sampai dimana batas kekuatannya.
Belajar tentang keberanian
Hidup berdampingan dengan sungai-sungai yang perkasa membutuhkan keberanian luar biasa. Kita hanya sesekali saja turun ke sungai dan mengarungi keliaran arusnya. Setelah satu dua hari bercengkerama dengan jeram, kita kembali ke peradaban kota yang nyaman. Berbeda sekali dengan masyarakat di bantaran sungai. Setiap hari mereka mempertahankan hidupnya berdampingan dengan sebuah aliran energi maha yang tak terukur kekuatannya. Apabila luapan sungai Ciliwung saja dapat menenggelamkan kota Jakarta, bayangkan seandainya sungai Citarum atau Cimanuk mengamuk dan bertiwikrama. Barangkali pulau Jawa pun akan tenggelam karenanya.
Militansi para rafter mengarungi jeram dengan tingkat kesulitan berapapun, tetap tak sebanding dengan keberanian mereka yang hidup dengannya. Kita turun dengan peralatan safety seperti tali, pelampung, helm dan perahu self bailing, bahkan mungkin diback-up pula sebuah tim rescue. Sementara seorang anak kecil menghanyutkan dirinya ke sungai dengan berbekal segebog batang pohon pisang saja.
Maka terkadang saya berpikir barangkali bukan dari keganasan sungai kita belajar tentang keberanian dan kegigihan. Demikian pula sikap kepasrahan untuk menyerahkan diri kepada aliran sungai yang perkasa itu. Namun dari orang-orang yang hidup dipinggir sungai Cimanuk lah keberanian itu dipelajari. Dan keberanian itu kini selalu mengalir dan bergelora dalam darah para rafter. Ia mengalir sampai jauh hingga ke gunung-gunung tinggi dan tanah bencana. Hanya Tuhan yang dapat memberinya batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar