Sabtu, 18 Oktober 2008

Tour of duty ke Sulawesi




Seandainya kami bisa bertahan hidup, saya akan punya kisah untuk diceritakan; tentang keberanian, daya tahan, dan semangat rekan-rekan saya.. (Scott, saat kematiannya di Antartika 1912)


Tahun 1994 merupakan momen dicanangkannya ekspedisi ke Sulawesi dengan tujuan pegunungan Latimojong (Gunung hutan), tebing Bambapuang (RC) dan kawasan karst Maros (Caving). Tour of duty yang melibatkan 22 mahasiswa ini berawal dari kerinduan akan suatu ekspedisi besar yang sudah lama tak diadakan sejak ekspedisi Andalas 1991. Saat itu belasan anggota PLW mengexplorasi wilayah selatan Sumatera mulai dari Serelo (RC), Way Babuta (caving) sampai pesisir Bukit Barisan (susur pantai/hutan).

Percakapan ringan

Sekitar bulan Oktober 1993, selepas pulang dari latihan ORAD di Citarum, beberapa orang tak segera pulang dan memilih berkumpul di kampus sambil ngopi dan ngobrol ngaler ngidul. Dari obrolan ringan, tema pembicaraan semakin menghangat dengan ide menyelenggarakasan kembali expedisi besar ke luar pulau Jawa. Nama Sulawesi pun tercetus sebagai lokasi yang paling ideal untuk dituju. Semua yang hadir dengan bulat menyatakan siap all out mendukung rencana tersebut.

Pembicaraan pun ditutup lewat larut malam dan masing-masing pulang dengan hati berdesir dan emosi beraduk. Terus terang ada semacam rasa masygul karena sebagian besar aktivis saat itu adalah mahasiswa yang baru masuk 1-2 tahun yang lalu, dan kini telah dihadapkan pada sebuah hajat kolosal ke Sulawesi. Walau tentu saja hal itu barulah pembicaraan informal

Save the best for last

Bola bergulir dengan cepat dan wacana expedisi ke Sulawesi tak tertahankan lagi untuk menjadi agenda resmi di kampus. Expedisi disepakati dilaksanakan pada masa liburan semester bulan Agustus 1994. Sejumlah persiapan yang tak pernah saya jumpai di waktu-waktu sebelumnya terlihat menghidupkan bara di kampus. Idealisme itu begitu membakar dan membuat semua merasa memiliki tujuan yang cukup berharga untuk berkorban.

Maka sepanjang tahun 1994 yang terasa adalah persiapan yang semakin serius menuju hajat di bulan Agustus. Bahkan seingat saya tak ada perjalanan berarti di tahun itu yang dilakukan. Semua menyimpan energinya untuk mencapai kondisi puncak di bulan Agustus. Apabila diibaratkan sedang mengolah jasmani maka saat ekspedisi itulah masa untuk suatu “ledakan otot”. Energi akan menyembur melebihi batas yang disimpannya untuk membuat sebuah percepatan.

Semua paham benar rasanya menahan hasrat yang meronta-ronta untuk melakukan perjalanan bertualang. Sungguh menggemaskan, apalah artinya sebuah lari-lari kecil di Gasibu atau sepanjang jalan menajnjak Dipati Ukur – Bukit Dago dibanding kenikmatan menerabas belantara liar. Buai rayu pegunungan dan alam liar begitu menggoda para young guns sepanjang tahun itu, namun semua menahan diri untuk event lebih bermakna.

Saya kagum pada semua kesabaran untuk tak melakukan itu dan memilih menyimpannya untuk waktu yang ditentukan. Mereka menyimpan semua terbaik yang dapat dikerahkan di sebuah tujuan akhir yang ditunggu-tunggu dengan gelisah. Bahkan personil tim paling sabar sekalipun merasakan degup jantung yang semakin kencang menunggu Hari-H expedisi dimulai.

Time to rock

Pada akhirnya penantian yang ditunggu-tunggu pun usai sudah. It’s time to rock! Satu gerbong penuh kereta yang di-booking tim untuk membawa personil dan peralatan, berangkat perlahan pada suatu dini hari dari Kebon Kawung, Bandung menuju Surabaya Gubeng, dimana sebuah advance team telah menunggu. Sulit mengungkapkan perasaan ketika itu, bahkan tak satupun personil tim expedisi yang tidur sepanjang malam itu. Semua merasakan kegelisahan untuk memulai petualangan itu, dan kinilah saatnya.

Maka ketika kereta berangkat lepaslah semua ketegangan, dan semua bersiap bahu membahu mengerahkan seluruh kemampuan terakhirnya menuju medan operasi paling ekstrim sekalipun demi panji kehormatan civitas akademika. Semua optimis akan menyelesaikan misinya saat semua ujung trisula ekspedisi berkumpul kembali di Rante Pao setelah kegiatan masing-masing tim selesai.

Bagi personil tim expedisi, tour of duty ke Sulawesi kala itu merupakan noktah penting di dunia petualangannya. Sebuah aktualisasi penting dalam menempa kepercayaan diri. Kedengarannya agak bombastis tapi saya merasa bahwa expedisi ke Sulawesi adalah salah satu moment of truth yang telah membentuk sebagian mahasiswa yang terlibat di dalamnya dari nobody menjadi somebody.


Tidak ada komentar: