Sabtu, 18 Oktober 2008

Homesick di Singgasana Dewa

Ketika pertama kali muncul di tahun 90-an lagu-lagu Dewa19 tak hanya bicara soal cinta. Satu hal yang membuat saya mempunyai apresiasi pada grup musik ini adalah salah satu lagu yang diusungnya berjudul Mahameru. Sebuah lagu dengan lirik maskulin yang dilantunkan Ari Lasso tentang pendakian gunung Semeru. Saya tak pernah lupa pada lagu itu hingga saat ini. Seolah memberi pembenaran pada dunia petualangan kami saat itu.

Medan gunung Semeru

Gunung Semeru (3.676 meter) terletak di dalam Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS). Membicarakan pendakian gunung di nusantara rasanya tak kan lengkap tanpa membahas gunung ini. Bukan hanya karena puncak Mahameru merupakan puncak tertinggi di pulau Jawa, namun juga karena medannya yang cukup berat sekaligus sangat indah.Tantangan terbesar mendaki gunung Semeru adalah merayapi lereng pasirnya di kegelapan total menjelang dini hari. Sewaktu-waktu angin kencang yang datang bergemuruh dapat menerbangkan pasir-pasir tajam dan menghempaskan tubuh.

Pendakian pertama saya ke Gunung Semeru tampaknya seperti sebuah kesalahan yang khas dari para pemula. Ketika berangkat dari Bandung sebenarnya kami dalam kondisi fisik yang paling memuaskan. Saya bahkan tak pernah merasakan kondisi fisik yang sedemikian prima lagi seperti saat itu hingga sekarang. Telah sebulan lebih kami mempersiapkan diri untuk petualangan itu hingga tak sabar untuk memulainya. Berbekal kepercayaan diri akan kondisi fisik yang mumpuni, ternyata saya luput memperhitungkan faktor kelelahan mental yang memang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Maklumlah saat itu pendakian gunung ini merupakan penutup rangkaian pendakian marathon dari gunung Tambora, Rinjani dan akhirnya Semeru dalam waktu yang beriringan. Bukan hanya homesick, kondisi fisik pun mulai kedodoran saat tiba di Ranupane, base camp awal pendakian. Beruntung trek pendakian gunung Semeru mempunyai banyak slope pendakian yang datar sehingga memberi kesempatan untuk banyak menarik nafas. Namun sepanjang jalur yang menanjak dari Kalimati ke puncak adalah sebuah perjuangan hebat yang saya kenang hingga kini.

Homesick

Saya tak menyangkal mengalami home sick yang sangat mengganggu saat mendaki Gunung Semeru di tahun 1993 itu. Saya merasakan rindu yang begitu menggoda pada kehidupan masyarakat. Tak usah jauh-jauh rindu pada keluarga, suasana kampus dan kota Bandung, bahkan pada desa terdekat pun saya rindu untuk segera mencapainya.

Ketika dalam perjalanan pulang dari kota Malang saya tak mempedulikan lagi keheranan penumpang lain yang melihat kami seharian terkapar, bergeletakan di kursi gerbong kereta. Tidur dan istirahat, hanya itu yang ada di benak yang sekan menjadi tumpul saat itu. Seolah sudah tak ada imajinasi dan tenaga yang tersisa di setiap sel otot ini.

Beberapa bulan setelah pendakian itu saya tak terlalu antusias pada hal-hal berbau mendaki gunung. Sejak saat itu saya tak pernah lagi melakukan pendakian marathon hingga tiga gunung sekaligus. Ternyata kemampuan kita ada batasnya. Bahkan ketika fisik masih kuat pun belum tentu mental kita tak mengalami kelelahan. Hal ini memberi pelajaran berharga kepada saya dalam perjalanan-perjalanan berikutnya.

Tidak ada komentar: