Sabtu, 04 Oktober 2008

Wilderness In Sytle

You are what you wear

Jangan sepelekan pakaian yang kita kenakan. Bagi sebagian orang mengenakan setelan baju tertentu lebih dari sekedar berpakaian. Ia merupakan sebuah simbol atau semacam kredo. Cara berpakaian pun menunjukkan eksistensi, afiliasi bahkan pemberontakan. Mungkin pula menjadi topeng bagi pemakainya. Pemakai dapat menjadi sedemikian teridentifikasi dengan karakter pakaiannya. Maka jadilah pakaian yang sering dikenakan itu sebagai seragamnya, sebuah kostum kebesarannya.

Pakaian perang

Saya pun dulu merasakan hati yang berdesir ketika sudah mengenakan “pakaian perang”. Suatu kostum yang hanya dipakai menuju arena petualangan seperti pegunungan tinggi. Kostum itu berupa celana lapangan, kaos lengan panjang, jaket gore-tex, sepatu gunung, kaos tangan dan gaiter bila perlu. Syal kuning tak pernah terlewatkan. Namun tentu saja pakaian tersebut hanya dikenakan ketika akan mendaki gunung, tidak saat di kota.

Demikian pula rasanya kurang mantap bila tak diperlengkapi carrier Eropa sekaliber Karrimor atau Berghaus. Bukannya apa-apa, pada masa-masa eksplorasi itu seluruh carrier lokal sudah pernah saya rasakan rontok dalam arena penjelajahan yang serius sehingga cukup membuat trauma. He..he..

Timbul kepercayaan diri yang membuncah ketika mengenakan pakaian perang tersebut, seolah sebuah kepribadian yang tajam menyeruak dan merubah saya menjadi sosok yang lain. Sebuah ketenangan pun meresap ketika sudah mengenakan perlengkapan perang itu, walau akan menghadapi medan ekstrim sekalipun. Berbagai kelemahan dan kecengengan sehari-hari bermetamorfosa menjadi determinasi yang militan dan terfokus.

Begitu pun ketika akan turun ke jeram misalnya, sejenak nyali selalu ciut melihat gelora air yang garang menghantam bebatuan besar di sungai. Namun ketika sudah berganti kostum dengan pakaian kebesaran arung jeram, sebuah sosok dingin seolah kembali mengambil alih. Dengan kaos lengan panjang, celana pendek, jaket pelampung, topi/helm serta dayung di tangan, saya menyerahkan nasib kepada Tuhan dalam memasuki jeram apa pun.

The 90’s

Setiap orang mempunyai pakaian kebesarannya masing-masing, minimal fanatik pada kostum tertentu. Mode pakaian outdoor, bagaimanapun salah satu tren yang abadi. Kemeja flanel, misalnya, merupakan tren abadi bagi karakter para petualang walau saya tak merasakan banyak fungsinya bila mengenakannya saat melakukan pendakian yang serius. Saya lebih suka memakai sweater atau kaos lengan panjang dengan celana lapangan dalam menerobos hutan.

Jaket maupun rompi bulu angsa yang hangat juga sempat populer sebagai gaya berpakaian outdoor. Walau kehangatannya cukup menggoda, untuk dibawa mendaki ke gunung bahan ini hanya akan memenuhi ransel saja dan sangat mudah basah bila diguyur hujan yang sering terjadi dalam pendakian. Maka tak pernah saya bawa untuk mendaki gunung, hanya dipakai untuk menahan dingin saja di pegunungan sekitar Bandung seperti Situ Lembang dan Ranca Upas.

Tidak seperti sekarang, di masa 90-an raincoat dan jaket berbahan gore-tex masih sulit didapat. Kalau pun ada, harga barunya tak terjangkau kantong mahasiswa kebanyakan. Maka berburu jaket gore-tex second adalah semacam keharusan. Bersama rekan-rekan saya sempat keluar masuk pasar loak di Pontianak mencari raincoat gore-tex yang masih layak. Selain cukup kokoh menahan angin dan suhu beku di ketinggian 3.000-an meter, bahan jaket ini cukup ramping dan padat sehingga tak terlalu makan tempat untuk dipacking di ransel.

Hujan merupakan momok dalam pendakian gunung di daerah tropis. Kegagalan mengantisipasi guyuran hujan yang terus turun dapat membuat down pendaki dan berakibat fatal. Dalam menahan hujan yang mengguyur ini, raincoat berbahan lokal dari Eiger atau Alpina dirasakan sudah cukup efektif. Sehingga raincoat tersebut sangat terpakai dalam menerobos hujan di kelebatan hutan. Rasanya sudah tak terhitung berapa lusin raincoat yang rusak selama masa pendakian gunung dulu. Akan sangat disayangkan bila raincoat gore-tex hasil perburuan yang sulit masa itu rusak oleh belukar di hutan. Sehingga raincoat gore-tex atau Patagonia yang modelnya keren, justru lebih sering dipakai bergaya di kota atau paling banter di kaki gunung saja.

Sekedar membawa ponco sebetulnya sudah cukup tangguh menangkal hujan. Namun karena modelnya yang kaku maka terasa ribet dan mengganggu pergerakan, selain memang kurang fotogenik bila diabadikan dalam dokumentasi J. Ponco lebih sering dipakai sebagai alas atau pengganti fly-sheet.

Ada juga persepsi bahwa pecinta alam identik dengan setelan yang berantakan dan . rambut gondrong. Sebaliknya, pada masanya para Los Galacticos PLW era 90-an akan lebih banyak ditemui dengan rambut pendek dan klimis, dengan kemeja rapi dan celana jeans, tanpa bandana yang menggantung di saku belakang. Lalu memakai sepatu gunung atau safety shoes semacam Caterpillar, walau sekedar dipakai di kampus saja.

Karakter super

Harus diakui bahwa gaya berpakaian outdoor lebih semarak di kota dibanding pada medan petualangan sebenarnya. Juga tak usah heran bila di tempat wisata alam atau bumi perkemahan semarak pula oleh selebriti outdoor. Entah mereka yang memakainya penggiat kegiatan outdoor sejati atau sekedar nimbrung style petualang. Sementara di hutan pegunungan tropis yang basah para praktisi akan sangat memperhatikan segi fungsional dan kepraktisan. Jangan lupa bahwa space dalam ransel sangat terbatas, sehingga membawa kostum berlebihan bukanlah prioritas utama.

Namun karakter positif sosok petualang sebenarnya tak harus melulu tampil di arena petualangannya dan dengan kostum pakaian lapangannya. Karakter itu ada di dalam jiwa petualang itu sendiri, seperti aura yang terpancar dari singa di padang rumput atau elang yang mengangkasa. Ia ada dengan sendirinya, jujur dan tanpa polesan. Ia lah kegagahan yang sebenarnya. Beragam jenis predator berkeliaran di padang rumput tapi semua tahu para singa lah penguasanya.

Setiap orang memiliki sosok super dalam dirinya namun entah kepribadian itu terbangkitkan atau tidak. Atau sosok super hero itu hanya berani muncul dengan memakai kostum seperti halnya Batman. Ketika seseorang telah memahami karakternya sendiri, semestinya ia dapat melampaui simbol-simbol pakaiannya dan kredo seragamnya itu. Andai seseorang tak dapat menjadi pahlawan bagi orang lain, jadilah setidaknya orang yang tangguh bagi dirinya sendiri.

Ia seperti sosok harimau yang terlihat lembut dan tenang, seperti tak terpengaruh situasi sekitarnya. Namun disitulah terletak kekuatan sejati sang harimau sebenarnya, ketika seluruh inderanya sedang meruncing dan segenap kekuatannya siap menerkam

Tidak ada komentar: