Sabtu, 18 Oktober 2008

Ketika KTP Habis Masa Berlaku

I’d rather woke up in the middle of no where than any cities in the world



Tangal 26 Juni 2007. Anjirrr...masa berlaku KTP saya hangus tepat di tanggal ini. Demikian pula berbagai identitas untuk hidup di kota ini seperti SIM, kartu kredit, user id dan sebagainya. Tiba-tiba saja saya tersadar bahwa telah sekian lama tinggal di sebuah tepi megapolitan yang berpenduduk lebih dari 10 juta orang. Sebuah kota yang serba maha dan menjadi magnet bahkan semacam lubang hitam bagi negara ini. Ia menyerap semua energi dan cahaya negara ini lalu enggan melepaskannya kembali. Maka yang terjadi adalah sebuah hiruk pikuk dengan kecepatan yang semakin berlipat. Di kota ini, bahkan sehari pun tak lagi cukup 24 jam.

Semua berlomba-lomba menjadi bagian dari megapolitan ini, tapi mungkin karena terpaksa. Karena ketika hari libur tiba, para penghuninya segera beterbangan seperti tawon yang berduyun-duyun meninggalkan sarangnya. Apalagi bila libur Lebaran tiba, tampak lah jelas loyalitas warga megapolitan ini terhadap kotanya. Bahkan seekor semut pun akan leluasa melintasi jalan-jalan protokolnya tanpa khawatir terlindas para raja jalanan biadab yang biasa menguasainya.

Saat itu kemegahan megapolitan ini seperti tubuh yang kosong. Ruhnya terbang meninggalkan raga, kendati ia tetap tegak dan sombong tentu saja. Namun berdiri dengan gamang dan limbung. Para penghuninya melarikan diri ke tempat yang lebih teduh dan berjiwa. Untuk sekian lama, mereka merasa lega dapat keluar dari kemabukan megapolitan itu. Jadi ini adalah sebuah kota yang suatu hari pasti ditinggalkan para penghuninya. Dan saat mereka kembali, sebagian besar dari mereka berkata “ Bukan, kami bukan pulang kembali ke sini.... kami pergi dari kota dan desa tempat asal kami.”

Tapi kenapa saya harus begitu sinis pada kota ini, pikir saya. Toh, tempat asal saya pun telah tumbuh menjadi kota besar yang mulai tak ramah. Pohon-pohonnya telah banyak ditebang dan kini kabut pun mulai menyingkir dari kesejukan pagi. Ah, tapi di sana saya masih mendapati senyum dan kesopanan, saya mencoba membela diri. Dan di sana saya pun masih berjumpa dengan teman –teman dalam arti yang sebenarnya. Bukan teman kerja, teman profesi, teman perjalanan atau teman kencan. Mereka teman tanpa konteks maupun kosmetik. Saya bisa bergaul dengan mereka bahkan dengan hanya memakai kolor sekalipun. Demikian pula dengan keluarga yang menerima apa adanya. Hmm, jadi setidaknya masih ada passion yang menyegarkan.

Lho, bagaimana bila semua teman dan keluarga saya dipindahkan ke megapolitan ini? Apakah lalu akan menjadi betah juga di sana, saya mencoba mengkritisi pandangan ini. Tak perlu khawatir, balas pikiran saya yang lain dengan enteng. Toh bukan itu yang terjadi, jadi tenang saja. Buat apa mikiran yang tidak terjadi. Gitu aja kok repot..

Jadi, kalau begitu kenapa saya harus datang ke biang hiruk pikuk ini? Begitulah, saya ternyata masih memiliki ketergantungan besar kepada sistem ekonomi kapital ini. Keliru benar kalau ada yang membela ekonomi negara ini sebagai tak mengadopsi ekonomi kapitalistik. Para marhaen lugu itu datang dari pelosok desa bukan karena melihat ada harapan di kota besar. Tapi mereka lari dari keputusasaan di tempat asalnya. Mereka sekedar lari, betapa menyakitkan.

Entah kenapa saya tak terlampau berminat menjadi bagian yang berkesinambungan dari gelinjang megapolitan ini. Saya teringat saat dulu menyusuri jeram-jeram sungai di pinggir hutan. Selain arus utama yang bertenaga, di pinggir-pinggirnya ada juga arus balik (eddies). Arus ini berguna untuk membantu menghentikan laju perahu saat berada di keliaran arus utama. Setidaknya itulah yang saya coba lakukan, dan mungkin juga sebagian yang lain yang tak ingin terlelap pada aroma metropolis ini.

Maka sewaktu-waktu saya pun tetap pergi ke suatu ketinggian, atau keliaran sungai, atau suatu tempat yang sunyi bersama teman-teman yang saya sebut tadi. Bisa menerima saya walau hanya berkolor sekalipun. Di tempat-tempat eddies itulah, tubuh yang letih itu mendapatkan kembali semangatya untuk tetap tak ingin kalah pada keliaran jeram megapolitan. Tapi kini, yang harus segera saya lakukan adalah memperpanjang KTP ini, setidaknya mencari calo kelurahan yang bisa mengurusnya. Bloody hell...

Tidak ada komentar: