Sabtu, 18 Oktober 2008

Para Pencari Sunyi


Namun ada orang-orang yang menganggap sesuatu yang tak terjangkau itu justru memiliki daya tarik khusus... panggilan terbaik untuk orang-orang seperti ini adalah eksentrik; dan yang terburuk, gila.. (Walt Unsworth)

Budaya hiruk pikuk

Kebudayaan masyarakat kota yang semakin hiruk pikuk seakan tak menyisakan lagi ruang untuk diam dan merasakan kesendirian. Namun mungkin kebanyakan orang pun tak lagi memerlukannya karena kini semua serba cepat, bebas dan transparan. Isi hati yang paling rahasia pun diumbar penuh ekspresi di blog. Bahkan tanpa harus meminta ijin, privasi orang dapat dikorek-korek oleh media dengan tanpa belas kasihan.

Jaman yang serba materilalistik ini telah menyeret kita untuk selalu terlibat ke dalam hiruk pikuknya. Di dunia materi, ikon budaya seperti supermall, hypermarket dan superblock berlomba-lomba dibangun di perkotaan sebagai magnet untuk menyedot manusia menjadi kerumunan yang semakin homogen. Sementara dunia maya tumbuh liar dengan ikon-ikon expresifnya seperti web, blog, friensdter dan berbagai akses informasi lain yang tak berbatas.

Lalu ditengah cepat dan sumpeknya arus informasi ini, masihkah penting arti sebuah sunyi dan keheningan? Dalam kultur materialistik seperti sekarang, sepi hanyalah ide yang asing dan marjinal. Dianggap hanya milik mereka yang tak memiliki akses kepada pusat-pusat budaya.

Padahal sebenarnya di tengah hiruk pikuk yang semrawut, manusia membutuhkan diam dan sunyi. Bukan sepi negatif sebagai cara melarikan diri dari realita (eskapisme) namun sepi positif yang bermakna. Kesunyian positif adalah kesunyian yang melepaskan diri dari tawanan dunia dan menghantarkan manusia kepada pintu gerbang pengetahuan yang maha luas.

Sunyi yang bermakna

Dari Crone Chronicles: A Journal of Crone Conscious Aging edisi 1999 setidaknya dapat disimak beberapa manfaat yang menakjubkan dari kesunyian itu. Manusia akan menyadari bahwa dirinya bukan sekedar individu dan kepribadian yang terpisah, namun merupakan bagian yang satu dari alam semesta, bagian dari energi yang memberi kehidupan.

Lewat kesenyapan, kepekaan manusia lebih tajam dan jernih. Indra kepekaan kita kian kuat memaknai hidup. Bahasa-bahasa dari dunia di luar manusia akan mulai terbaca oleh kita. Udara yang bergerak, air mengalir, desir pepohonan dan aroma tanah basah – semuanya memberi arti.

Kesunyian membuat manusia mengakrabi dirinya sendiri dan mulai mengenal organ-organ tubuh dan sistem kebutuhannya.Hal ini membawa manusia lebih peduli pada penderitaan orang menjadikan kita lebih sabar dan bersikap tegar.

Masa-masa pencarian jati diri kerap diwarnai perjalanan ke final frontier bersama tim mencari keheningan alam. Namun terkadang juga perjalanan ini hanya dilakukan seorang diri saja, tanpa informasi dan tak disadari oleh yang lain. Dari sekedar hiking di kawasan Priangan hingga pendakian solo ke gunung yang tinggi seperti Rinjani dan Kerinci. Bahkan ada pula rekan yang sendirian menelusuri lekuk pantai Sancang yang penuh suasana klenik itu.

Saya dapat membayangkan kesunyian abadi yang melingkupi para lone ranger itu, terlebih saat pergerakan berhenti lalu gelap serta hawa malam mulai merasuk. Hanya suara-suara hutan dan sebatang lilin yang menyala gemetar menemani petualang melewati keheningan bisu. Apabila beruntung tak diguyur hujan, cahaya bintang akan memayungi langit malam.

Pemandangan terindah

Sensasi apa yang mereka dapati seusai menuntaskan perjalanan spiritualnya tersebut merupakan suatu misteri. Apakah mereka melakukannya sebagai sebuah pelampiasan ego nya ataukah suatu pencarian yang bermakna. Namun yang paling menggelitik tentunya apakah para pengembara itu menikmati kesendiriannya yang nun jauh ditengah belantara hutan, jauh dari desa-desa terluar sekalipun.

Setelah turun dari pendakian gunung Sumbing (3371 mtr dpl) di Jawa Tengah bersama tim, saya berkesempatan melanjutkan pendakian ke gunung Sindoro (3153 mtr dpl) sementara yang lain kembali pulang ke Bandung. Dua hari kemudian dalam perjalanan turun dari pendakian gunung Sindoro, tak lama setelah fajar saya turun dari kaki gunung dan kemudian mulai memasuki lahan perkebunan.

Entahlah bila saya dinilai gagal dalam menikmati sunyi dan kesendirian, namun pemandangan terindah ketika melakukan perjalanan sendiri saat itu adalah momen berpapasan kembali dengan penduduk desa. Dalam suasana temaram masih diliputi kabut, dari kejauhan terlihat siluet para petani datang dalam sinar matahari pagi yang putih. Momen yang menggetarkan itu membuncahkan sensasi tersendiri dan membuat saya menyadari bahwa pemandangan terindah adalah manusia itu sendiri.

Tidak ada komentar: