Sabtu, 18 Oktober 2008

Menjemput Bidadari Maut


A true hermit goes to the wilderrness to find not to lose himself


Dalam sebuah epos Ramayana dikisahkan seorang ksatria mendatangi istana kediaman Prabu Arjuna Sasrabahu. Sang Ksatria meminta diijinkan untuk bertarung dengan Sang Prabu yang tersohor sebagai raja yang sakti mandraguna di seantero jagad pewayangan untuk menjajal kesaktiannya.

Sang Prabu tidak serta merta menyambut tantangan tersebut, dengan cemas ia bertanya ‘”Wahai ksatria, engkau telah memiliki kesaktian yang luhur. Tidakkah itu telah mencukupimu. Bagaimana bila engkau dijemput bidadari maut dalam pertarungan nanti?”

Ksatria dengan lantang menjawab, “Sebagai seorang pendekar hamba akan bangga bila mati di medan laga. Itulah tempat paling pantas bagi seorang pendekar meregang nyawa dan akan merupakan sebuah kehormatan bila ajal hamba ada di tangan Paduka Prabu yang tersohor sakti mandraguna yang telah mengalahkan Rahwana sang angkara murka.”

Sang Prabu menghela nafas panjang mendengar jawaban ksatria itu. Ia tak kuasa menolaknya dan berjanji akan melayani permintaan sang ksatria keesokan hari.

Ambisi pendakian

Setiap manusia selalu memiliki ambisi dalam memuaskan keinginannya dan itu sama sekali bukan hal buruk. Tanpa ambisi kita tak akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki hingga tak tahu sampai mana sebetulnya batas kemampuan kita. Namun ambisi harus ada batasnya, kita harus dapat menyadari batas imajiner itu. Bila tidak berhenti di saat yang sewajarnya, ambisi hanya akan membakar setiap orang dan menutup pintu hati serta memalingkan akal sehat. Dalam kondisi itu konsekwensi paling fatal hanyalah menunggu waktu.

Setelah puncak Everest berhasil didaki, muncul kemudian wacana Seven Summits yang bertujuan mengoleksi tujuh puncak tertinggi di tiap benua. Kemudian populer pula ide untuk mendaki keseluruh 14 puncak yang berketingian diatas 8000 meter di Pegunungan Himalaya. Lalu seorang Reinhold Messner menyebutkan bahwa tantangan pendakian sesungguhnya pada puncak 8000 meter adalah pendakian yang dilakukan tanpa alat bantu oksigen.

Sementara gunung yang perkasa dengan bijak membisikkan petatah-petitih kepada setiap pendaki yang mengunjunginya. Sang gunung sebenarnya dapat saja memunculkan murkanya yang dapat dengan mudah membinasakan mereka. Namun ia lebih sering dengan amat sabar dan lembut bercengkerama dengan para pendaki, bahkan kepada mereka yang hanya datang untuk mengusiknya sekalipun. Seperti Sang Prabu, ia selalu menyerahkan kepada para pendaki untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Bidadari kematian

Seorang sering dikenang sebagai heroes saat menghembus nafas terakhir di profesinya berkiprah. Tentara yang gugur di medan tempur. Polisi yang gugur dalam adu tembak dengan bandar narkoba. Nelayan yang tertelan ombak samudera. Pembalap yang mengalami tabrakan di sirkuit. Petualang yang meregang nyawa di medan petualangannya.

Seperti juga individu di profesi lainnya, seorang pendaki sering merasakan eforia dalam menilai kematian yang terjadi di kancah tempat biasanya mereka berkiprah yaitu di ketinggian ekstrim pegunungan. Seringkali seorang pendaki bercerita penuh keyakinan akan sebuah kematian yang terhormat dan didambakan, di suatu tempat pada ketinggian ekstrim. Seorang “pendaki sejati” akan rela mati di pelukan hawa beku pegunungan.

Namun benarkah mereka akan merasakan hal yang sama bila para bidadari kematian benar-benar telah menari disekelilingnya. Tak ada petualang yang berharap meninggal ketika akan pergi ke medan petualangannya. Tak ada petualang yang pergi ke gunung, gua atau tebing seraya berharap itu akan menjadi petualangan terakhirnya.

Kita amat menghormati para rafter yang wafat di sungai Citarum, Krueng Tripa maupun van der Wall. Juga kita menundukkan kepala bagi para pendaki yang wafat di Leuseur, Jayawijaya, Aconcagua dan semua gunung tinggi. Namun bukan kuasa kita untuk menilai bahwa mereka mendambakan kematiannya di tempat itu. Kecelakaan tersebut merupakan tragedi yang sedapat mungkin selalu dihindari oleh tiap petualang.

Menuntaskan peran

Setiap orang selalu punya pilihan dalam menuntaskan peran di panggung kehidupan. Alangkah indahnya bila seorang petualang dapat mewariskan pengetahuan dan kebijaksanaan yang didapatnya dari alam kepada anak cucu hingga usia tuanya. Untuk dapat menuntaskan peran hingga di usia tua, tentunya diperlukan tanggungjawab jauh lebih besar. Ia harus mengerahkan sampai akhir segenap perjuangan dalam menjalani Sang Hidup.

Sebagai manusia biasa yang sering larut dalam kesehariannya, seorang petualang kadang terbuai dalam eforia dan khilaf untuk menilai tempat dan peran manusia. Bukan kapasitas kita sebagai manusia untuk menilai Sang Maut dan mengidam-idamkannya. Saat waktunya tiba, tak seorang pun akan siap menghadapinya. Ia berada di luar jangkauan kita untuk memahaminya. Cukuplah bagi kita menjalani hidup ini dengan penuh penghargaan.

Tidak ada komentar: