Sabtu, 18 Oktober 2008

Leaving It Better Than We Found It

Sekali berarti kemudian mati

(Chairil Anwar)



Saat ini mungkin hampir semua blank spot dalam peta sudah pernah dijelajahi oleh para explorer di seluruh dunia. Ironisnya segera setelah para explorer itu menyelesaikan expedisi mereka dengan meninggalkan daerah pedalaman tersebut maka kondisi ekosistem asli tak akan lagi sama dengan sebelumnya. Beberapa spesies dan situs yang rentan segera punah oleh kehadiran peradaban baru. Adat serta nilai-nilai tradisional masyarakatnya pun perlahan tapi pasti semakin tergerus budaya modern. Kondisi the lost world itu tak kan pernah sama lagi seperti masa sebelumnya.

Wong How Man, seorang explorer terkemuka Hong Kong, menyadari betul tragedi tersebut. Sebagai bentuk keprihatinannya pada 1987 ia mendirikan CERS (China Exploration and Research Society), sebuah organisasi nonprofit yang bertujuan melindungi masyarakat, spesies dan situs-situs yang pernah mereka explorasi agar tak lantas punah. Wong mengerahkan perangkat teknologi canggih , antara lain teknologi satelit NASA, untuk mewujudkannya. ”Saya menyadari bahwa untuk menjadi seorang explorer pada masa kini tidaklah cukup, anda tak dapat melepaskan tanggungjawab untuk menjadi seorang kader konservasi,” tuturnya. Atas jasanya itu oleh majalah Times Wong dianugerahi penghargaan pada tahun 2000 yang lalu.

Rekan saya di kampus, Butet ( nama lengkapnya Saur Marlina) melakukan hal yang tak kalah luar biasa skalanya. Ia mendapat penghargaan yang sama pada tahun 2002. Perempuan nekad ini melewatkan waktu bertahun-tahun sejak lulus kuliahnya untuk berada di hutan pedalaman Jambi menjalankan pendidikan bagi suku Rimba. Kemudian tahun 2003 bersama rekan-rekanya Butet mendirikan Kelompok Pendidikan Alternatif bagi masyarakat Adat. Kelompok ini mereka namakan SOKOLA (artinya “sekolah” dalam bahasa rimba).

Bersama kelompok ini Butet membuka tempat-tempat pendidikan baru seperti Sokola Pesisir di Makassar, Sokola Baca Tulis di Wailago, Sokola Ketahanan Hidup di Aceh, Sokola untuk suku Togutil di Maluku dan suku Kajang di Bulukumba. Beberapa nama tempat itu bahkan saya tak tahu dimana.

Mengingat tekadnya, bagi saya bukan hal yang mengejutkan bila Butet berhasil membangun mimpi-mimpinya memajukan pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing itu. Sejenak melewatkan waktu dengan dengan Butet anda akan segera mendapatkan teman bicara yang cerdas, hangat, penuh kekuatan namun memiliki kelembutah hati yang dalam.

Bila rasanya terlalu jauh untuk meniru apa yang dilakukan Wong dan Butet, setidaknya kita diajak meneladani hikmah dari perjuangan mereka. Seyogyanya sebagai explorer kita meninggalkan sebuah tempat dengan kondisi lebih baik dibanding saat kita mendatanginya atau menemukannya. Atau yang paling minimal tidak membuat kerusakan saat meninggalkannya. Bandingkan dengan kita yang masih saja meninggalkan polutan dan kerusakan pada tempat yang kita lewati.

Mari jujur sudahkah kita memberi kontribusi yang diharapkan kepada lingkungan dan alam sekitar. Apabila sudah, tak ada ruginya untuk tetap diteruskan hingga kini dan seterusnya. Namun apabila belum signifikan, sampai sekarang pun kita masih dapat terus memberi kontribusi walau dengan wujud dan aktifitas yang mungkin berbeda.

Tidak ada komentar: