Sabtu, 18 Oktober 2008

Keberanian adalah Memanjat Pohon Jambu



Keberanian, sekecil apapun, adalah berarti

dan seringkali menentukan



Suatu hari Raina, anak saya yang baru masuk di kelas satu Sekolah Dasar, bercerita dengan penuh semangat bahwa hari itu ia sudah tahu arti keberanian saat mengikuti kegiatan Pramuka. Penuh rasa ingin tahu, saya bertanya apakah keberanian itu. Dengan polos ia menjawab bahwa keberanian itu adalah tidak takut memanjat pohon jambu. Saya geli namun mengiyakan saja pendapatnya.

Untunglah bahwa Raina punya pemahamannya sendiri tentang keberanian, karena bila ia bertanya tentang arti keberanian maka saya akan kebingungan menjawabnya. Bahkan apa yang membuat seseorang punya keberanian pun tak mudah memahaminya, padahal menurut saya itulah yang lebih penting daripada keberanian itu sendiri. Saya sering melakukan kegiatan outdoor yang menurut orang membutuhkan keberanian luar biasa, namun saya tak merasakannya seperti itu. Mendaki gunung atau arung jeram saya rasakan bukanlah sesuatu yang teramat hebat, karena saya sudah tahu resikonya dan dengan demikian sedapat mungkin mengendalikannya.

Seorang rekan menganggap saya tak punya nyali untuk bermain taruhan. Saya tersenyum saja karena merasa tak perlu menjelaskan padanya bahwa siapapun paling tidak mesti punya sedikit keberanian untuk merayapi lereng Mahameru di kegelapan dini hari, suhu beku dan menembus deru angin. Kadang saya bertanya pada diri sendiri perlukah keberanian itu dipertontonkan.

Beberapa sejawat explorer yang saya kenal terlihat begitu low profile. Dalam keseharian mereka begitu santun dan tak kentara “kadar keberanian”-nya. Namun banyak yang terhenyak ketika mereka melakukan perjalanan solo yang membuat miris. Saya pernah menyusuri muara-muara maut di pantai Sancang maupun mendaki pencakar langit gunung Kerinci dan Rinjani, namun tidak seorang diri melainkan bersama tim. Maka saya kagum membayangkan keberanian yang dimiliki para sejawat yang melakukannya dengan seorang diri. Hebatnya, petualangan maut itu tak membuat mereka berubah dalam kesehariannya. Tetap saja tidak mengesankan orang yang penuh keberanian.

Orang sering disebut pemberani, ketika sudah melakukan sesuatu. Tak kentara melakukan sesuatu yang menonjol, kontroversial atau radikal dianggap belum teruji keberaniannya. Atau lebih parah, alamat keberanian seringkali dilayangkan pada mereka yang melanggar aturan dan perilaku normatif.Sehingga banyak remaja yang merasa harus menampakkan eksistensi nya agar disebut berani. Malangnya, banyak perilaku agresif itu baru muncul ketika dilakukan berjamaah.

Apakah keberanian itu seperti para anggota genk motor yang berkonvoi bersama dan membuat onar? Apakah ia segerombolan hooligans yang beringas? Apakah ia seperti orang yang mabuk, bermata merah dan menantang siapapun yang ditemuinya. Rasa berani yang valid haruslah datang dari dalam diri, bukan karena kolektivitas, doping atau dipengaruhi stimulus lain.

Mungkin contoh keberanian itu seperti marinir yang menyeberangi Selat Sunda atau pemadam kebakaran yang bertugas diantara jilatan api. Ataukah keberanian itu seperti seorang ibu yang miskin yang berjuang membanting tulang demi membesarkan anak-anaknya sendirian. Apakah ia seperti anak kecil yang cacat dari lahir namun memiliki semangat baja untuk berhasil?

Tak gentar menghadapi sesuatu yang jauh lebih powerfull, menurut saya, mencirikan keberanian yang sebenarnya. Sementara mendzalimi yang lebih lemah menunjukkan sikap pengecut bahkan sakit jiwa. Konyol atau tidak, benar atau salah keberanian tetaplah sebuah keberanian.

Namun keberanian sejati tidak pernah melabrak nilai-nilai. Melanggar aturan atau norma tidaklah mencerminkan keberanian sebenarnya namun lebih merupakan kelemahan individu dalam menjunjung ide-ide kemanusiaan yang luhur. Selama masih mendengarkan hatinya, setiap orang memiliki batasan mana yang boleh dan tidak dilakukan.

Bagi Raina, pohon jambu adalah sesuatu yang powerfull baginya. Pohon itu tinggi, ada semut merahnya dan ia belum pernah menaikinya. Lambat laun seseorang akan menemui kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari dirinya, dan disitulah keberaniannya teruji. Mulai dari lingkungan, tuntutan ekonomi, masyarakat, kehidupan dan alam. Tidak lari dari situasi sulit dan menghadapinya, merupakan keberanian yang memukau. Namun mereka yang menuju pencarian akhir, akan menemukan kekuatan raksasa yang harus berani dihadapinya sendirian. Ia adalah nafsu dalam dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: