Sabtu, 18 Oktober 2008

Pengorbanan Takkan Sia-sia

Di keheningan alam

Di tengah rimba sunyi

Kuberjalan seorang diri

Sbagai seorang kelana..

(Balada Seorang Kelana, Iwan Abdulrahman)


Pada tahun 1964 di puncak gunung Burangrang Iwan Abdulrahman muda menciptakan lagu Balada Seorang Kelana untuk empat rekannya yang sedang tersesat di gunung itu. Lagu itu dinyanyikan lewat radio untuk memberi dukungan moril bagi para pendaki yang tersesat yang juga mendengarkannya lewat radio. Saya dapat membayangkan kala itu gunung Burangrang masih merupakan hutan teramat lebat yang jarang dikunjungi manusia.

Saya dapat merasakan kegetiran Abah Iwan saat itu ketika menunggu nasib rekan-rekannya yang tersesat dalam rimba belantara. Tak ada yang paling menyedihkan dalam sebuah pendakian gunung selain rasa getir akan musibah yang dialami rekan perjalanan.

Kewaspadaan tinggi

Gunung Burangrang (2.064 meter) memang tidak terlampau tinggi dan cukup aman untuk didaki sehingga cocok untuk sekedar treking di seputar Bandung. Setidaknya ada tiga jalur yang dapat kita lalui untuk mencapai puncaknya, yaitu lewat Kertawangi (Pos Komando), Legok Haji dan Cisurupan. Namun sungguhpun merupakan gunung dengan tingkat kesulitan yang rendah, di gunung kita tak diijinkan untuk memandang sepele kondisi apa pun.

Pegunungan adalah suatu lingkungan yang menuntut kewaspadaan tinggi dan respek yang besar. Gunung yang ramah sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi monster yang tak terhentikan. Kehilangan konsentrasi ataupun kelalaian kecil saja dapat membawa resiko maksimal. Batu nisan pertanda meninggalnya seorang pendaki di puncak gunung Burangrang memberi peringatan bagi para pendaki untuk tetap bersikap waspada.

Saya pun merasakan kegetiran yang mendalam di seputar gunung ini, ketika seorang rekan mahasiswa roboh selepas long march dari gunung Burangrang. Saat itu tak ada lagi yang dapat lagi kami lakukan selain mengevakuasinya ke Rumah Sakit terdekat. Tuhan mentakdirkan lain saat itu, dua hari kemudian rekan kami dipanggil dalam usia yang teramat muda. Mungkin sekitar 19 tahun.

Pengorbanan takkan sia-sia

Peristiwa itu cukup mengguncang batin hingga saya mempertanyakan kembali manfaat kegiatan petualangan yang saya lakukan. Kepercayaan diri saya pada kegiatan petualangan melorot hingga titik nadirnya. Sekian lama saya terbayang-bayang sembilu yang menghujam hati seorang ibu saat harus menerima kenyataan kehilangan anak yang dikasihinya. Membayangkan genangan air mata kesedihan dari seorang wanita paruh baya yang telah membesarkan anaknya dengan susah payah dan tetesan darah.

Namun setelah lama merenungkan hal tersebut, akhirnya saya mempunyai pemikiran yang lain. Alih-alih berhenti dari kegiatan bertualang dan mendaki gunung, saya bertekad untuk belajar sekeras mungkin agar menjadi petualang yang berpengalaman. Hanya dengan demikian saya akan lebih berguna bagi rekan-rekan yang lain, terutama yang masih junior. Saya dan rekan-rekan yang lain berjanji pengorbanan itu tak akan sia-sia.

Kami pun menuntut ilmu hingga ke gunung-gunung tertinggi dan hutan-hutan yang kelam di pelosok nusantara. Seluruh kesakitan, rasa lelah dan lapar seakan tak pernah saya pedulikan sejak saat itu. Beberapa diantara kami harus merasakan roboh hingga diopname dalam berbagai penjelajahan ke medan petualangan. Entah kena muntaber, malaria atau typhus. Namun hanya dengan militansi demikian saya merasa akan mempunyai kemampuan untuk suatu saat dapat menolong orang lain.

Ketika dalam suatu pendakian di gunung Argopuro kami sempat menolong sebuah tim yang tersesat, sebuah kelegaan membuncah di hati saya. Semacam perasaan haru yang aneh menyeruak hingga terasa panas didalam rongga dada.. Tuhan memberi saya kesempatan untuk menggunakan pengetahuan yang saya pelajari untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Tak ada yang lebih indah dari kejadian itu hingga saat ini.

Tidak ada komentar: