Sabtu, 18 Oktober 2008

Sang Penakluk dan Sang Pencinta

Kau tidak pernah menaklukan sebuah gunung.

Kau hanya berdiri di puncaknya selama beberapa detik.

Kemudian tiupan angin menghilangkan jejak-jejak kakimu.



Ide untuk menaklukan alam merupakan obyek pemikiran manusia yang abadi. Manusia seakan tak rela ada kekuatan besar yang membuat ego mereka seperti tak berdaya. Maka berangkatlah para pionir dengan gagah berani untuk menaklukan final frontier dimanapun di segala penjuru bumi. Alam yang ganas harus dapat ditaklukan untuk kemaslahatan umat manusia. Seakan bumi yang lapang terlalu sesak bagi dua kekuatan besar alam dan manusia untuk saling berbagi. Seakan hanya boleh ada satu kekuatan saja yang dapat menguasai bumi, yaitu manusia.

Namun para petualang dan pionir yang pergi menjelajah bukannya tak menyadari kepongahan awal mereka. Para pemberani itu segera mendapatkan hikmah dari penjelajahannya bahwa alam tak dapat dilawan bahkan ditaklukan, manusia hanya bisa berdamai dengan kekuatannya. Yang perlu ditaklukan adalah ego yang menguasai diri manusia itu sendiri, dan alam adalah guru yang baik untuk mengajarkan hal itu. Sir Edmund Hillary – pendaki pertama yang mencapai Everest - menyadari betul hal itu ketika berkata ,” It is not the mountain we conquer, but ourselves...”.

Para penakluk

Kutub Utara berhasil ditaklukan oleh Robert Peary pada tahun 1909 dan kemudian pada tahun 1911 Kutub Selatan menyusul berhasil ditaklukan oleh Amundsen. Ketika itu, Everest kerap dijuluki sebagai Kutub Ketiga yang merupakan kontur bumi paling menarik untuk dijelajahi. Setiap pendaki profesional mendambakan suatu saat dapat menaklukan puncak tertinggi di dunia itu.

Kemudian setelah Hillary dan Tenzing berhasil menjejakkan kaki mereka di puncak Everest, semua bertanya-tanya penjelajahan ekstrim apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Dick Bass dan Pat Morrow memunculkan wacana Seven Summits yang bertujuan mengoleksi tujuh puncak tertinggi di tiap benua. Adapula ide untuk mendaki keseluruh 14 “puncak kematian” di gunung-gunung berketinggian diatas 8000 meter di Pegunungan Himalaya.

Tercatat hanya lima orang pendaki di dunia yang berhasil mengoleksi keseluruh 14 puncak yang merupakan piala paling didamba para pendaki elite itu. Reinhold Messner, pendaki pertama yang berhasil memuncaki keempatbelas gunung kematian itu, menyebutkan bahwa tantangan sesungguhnya pada pendakian puncak 8000 meter adalah pendakian yang dilakukan tanpa alat bantu oksigen. Itulah batas ketahanan maksimal seorang pendaki. Entah ide “gila” apa lagi yang akan muncul kemudian untuk menjajal keperkasaan alam.

Menaklukan alam seperti mendaki puncak-puncak gunung merupakan ide yang menggoda para petualang. Namun jauh hari setelah melewati berbagai petualangan barulah mereka menyadari bahwa manfaat sebenarnya dari perjalanannya itu bukanlah masalah menaklukan alam, karena kekuatan alam terlampau besar untuk dilawan. Menaklukan diri sendiri merupakan pencapaian tertinggi dari perjalanan itu, dan Sang Alam lah guru yang mampu memberi petunjuknya.

Mencintai alam

Banyak pendaki yang pergi untuk menaklukkan puncak gunung hanya untuk suatu saat kembali padanya. Apakah anda hanya mendaki gunung Gede atau berarung jeram di sungai Cimanuk hanya sekali saja seumur hidup? Tidak, ada hasrat yang mendorong petualang kembali kesana. Mungkin ketika pertama kali melakukannya kita merasa tertantang untuk menaklukan puncak gunung setinggi 2.958 m atau jeram dengan grade 3-4 itu demi memuaskan ego. Namun ketika mendatangi untuk kesekian kalinya, baru kita tersadar bahwa rasa cintalah yang membawa kembali kesana. Dan ketika rasa cinta telah menjalari, tak sebersitpun terpikir untuk menaklukan. Hanya ada kerinduan yang sangat dan kegelisahan yang menyiksa untuk dapat bersua.

Para petualang menyadari hal itu sehingga tak pernah mengharapkan balasan apapun dari sang alam selain dapat sekedar kembali bercengkerama dengannya. Saya yakin bahwa ketulusan untuk mencinta tak pernah sia-sia. Maka ketika kita menjelajahi alam dengan rasa cinta alam yang sesungguhnya, alam pun membalas sepenuhnya.

Sang alam berbinar-binar ketika petualang melewati berbagai tempaan berat hanya untuk mendatanginya kembali. Siapakah yang tak bahagia didatangi oleh kekasihnya? Terkadang sang alam memang menghadirkan badai dahsyat dan bencana, bukan untuk mencelakakan namun hanya untuk memberikan kekuatan lebih pada petualang. Bukankah dengan demikian mereka akan menjadi lebih tabah, arif dan matang.

Cinta yang agung

Maka ketika ada insan petualang yang roboh di gunung tinggi atau tewas ditelan jeram, tak hanya sesama manusia yang meratapi kehilangannya namun sang alam pun menangis sendu. Sosok jenazah itu ia peluk dengan doa-doa dan keharuan yang mendalam sebelum sesama manusia menjemputnya untuk ditempatkan di peristirahatan yang terakhir. Hingga kini pun masih banyak sosok insan petualang yang gugur tak diketahui rimbanya. Barangkali sang alam masih teramat mencintai mereka dengan alasan yang tak dapat kita pahami.

Ada aura percintaan misterius yang terjalin antara sang petualang dan alam yang didatanginya. Mereka yang pergi melakukan petualangan seperti mendaki gunung atau mengarungi jeram berpikir telah melakukannya dengan cinta. Barangkali mereka tak pernah tahu bahwa sang alam menyayangi mereka dengan berlipat-lipat. Cintanya yang besar kepada manusia tak akan pernah habis. Ia bahkan selalu melindungi mereka dari kekuatannya sendiri yang maha penghancur.

Dan bila Tuhan memerintahkannya mengambil nyawa mereka, sang alam pun dengan bersujud membelai mereka sebelum menyerahkan nyawa para manusia terpilih itu pada Sang Pencipta. Sang alam melakukannya dengan tersenyum, karena saat itu ada cinta lebih besar yang datang bagi manusia. Ia tahu Tuhan memerintahkannya mengambil hidup manusia karena suatu kecintaan yang lebih agung dan tak tertakar. Lebih dari semua cinta yang dapat ia beri kepada manusia.

Tidak ada komentar: