Sabtu, 04 Oktober 2008

Starbucks pun Lewat



It is not just a coffe...it is a life style

And for some people, it’s about character

Rasanya ada yang kurang bila pagi hari tidak dimulai dengan secangkir kopi panas. Pagi pun rasanya belum usai hingga seruputan kopi yang terakhir berlalu. Bagi seorang pecinta kopi hal tersebut sudah merupakan ritual tersendiri. Bahkan ada kalanya saat sedang asyik kongkow di kampus, suatu aktivitas baru akan dimulai setelah “sepeminuman kopi”. Artinya, bisa 5 menit tapi bisa pula 1 jam kemudian.

Kopi juga merupakan logistik penting yang tak dapat dilewatkan dalam setiap “cek alat” sebuah perjalanan terutama mendaki gunung. Sungguh suatu kenikmatan tersendiri menghirup secangkir kopi panas yang mengepul-ngepul di sore hari setelah selesai mendirikan dome di ketinggian sebelum puncak. Benar-benar memulihkan stamina yang terkuras oleh pendakian.

Kopi minuman favorit

Kopi merupakan komoditas perdagangan terbesar kedua di dunia setelah minyak bumi. Tak heran minuman ini akan mudah didapati dimana saja dari warung pinggir jalan hingga cafe di kawasan elit. Penggemarnya pun mulai dari tukang becak hingga selebriti dunia. Indonesia sendiri termasuk negara penghasil kopi terbesar di dunia. Negara-negara lainnya antara lain Brasil, Colombia, Kenya, Costa Rica dan Papua Nugini. Telah sewajarnyalah bila tradisi minum kopi sudah mengakar di negara ini.Toko penjual kopi dari abad 19 pun masih dapat dijumpai hingga kini dengan kondisi yang masih belum banyak berubah, seperti Kopi Aroma di kawasan Banceuy, Bandung ataupun Tek Sun Ho di Jalan Barito, Jakarta Selatan.

Sulit menobatkan jenis minuman kopi mana yang paling yahud. Karena selain beda selera, beda pula tempat favorit para penikmatnya. Para penikmat kopi ala western akan klop dengan kedai kopi seperti Starbucks atau The Coffe Bean & Tea Leaf. Pecinta taste lokal pun dapat memuaskan seleranya di banyak kedai kopi lokal yang telah sangat dikenal, mulai dari Ulee Kareng di kota Banda Aceh (kalau tidak hancur kena tsunami) hingga Kopi Phoenam di Makassar. Bahkan bila ingin langsung mereguk kopi dari tempat tumbuhnya, anda dapat melakukan coffe walk di agrowisata kopi PTPN IX di Banaran, Semarang.

Pendakian Latimojong

Latimojong merupakan jenis gunung non volcano yang terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Sebenarnya Latimojong lebih tepat disebut pegunungan karena terdiri dari banyak puncak antara lain Rante Mario (3478m), Nenemori (3397m) dan Rante Kambola (3083m). Menurut hikayat, pegunungan tersebut merupakan daerah asal-usul nenek moyang orang Enrekang, Toraja, Luwu dan Bone. Penduduk dari desa Baraka (akses minibus terakhir) hingga Karangan (desa terakhir) merupakan rumpun suku Duri. Sumber mata pencaharian penduduk di daerah kaki pegunungan Latimojong adalah bertani kopi.

Setelah menuntaskan pendakian yang alot akibat hujan yang terus mengguyur di pegunungan pada bulan Agustus 1994, tim melanjutkan perjalanan pulang ke desa Baraka. Karena saat itu belum ada akses kendaraan, perjalanan dilakukan dengan seharian berjalan kaki. Walau rute treking relatif landai, perjalanan tersebut cukup menguras tenaga. Apalagi cuaca amat jarang bersahabat.

Di desa Rantelemo yang terletak di pertengahan Baraka dan Karangan, tim sejenak menarik nafas dengan beristirahat di tepi jalan. Dalam terpaan hujan, beberapa anggota tim berteduh di bawah sebuah rumah panggung tradisional seraya berharap hujan mereda. Apabila cuaca membaik menjadi sekedar gerimis, maka perjalanan akan dilanjutkan. Namun melihat tim yang datang dalam kondisi yang terlihat lelah dan kotor, sang empunya rumah dengan sigap memaksa para petualang itu masuk ke dalam rumahnya.

Kopi dari Rantelemo

Tim segera dikejutkan dengan sambutan hidangan yang bertubi-tubi dari pemilik rumah. Sayang, kedua belah pihak tak dapat saling berkomunikasi dengan bahasa yang sama. Penduduk desa hanya dapat berbahasa Duri yang tak dimengerti oleh tim.

Toh hal tersebut tak menghalangi komunikasi yang hangat antara tim dengan penduduk. Komunikasi dengan bahasa isyarat dan keceriaan membuat suasana penuh keakraban serta gelak tawa. Puncaknya adalah saat tuan rumah menumbuk biji kopi pilihan simpanannya. Biji kopi itu ditumbuk sehalusnya itu diseduh dengan air yang serta merta dijerang memakai kayu bakar. Aroma kopi robusta yang dipetik langsung dari hutan tersebut serasa hangat di dada apalagi ketika uapnya yang mengepul-ngepul mengawang di ruangan berdinding kayu. Hmm..., bahkan hingga kini pun aromanya serasa masih hangat di hati.

Saya bersumpah itulah kopi ternikmat yang pernah diseduh hingga kini. Kopi yang dihidangkan dengan penuh ketulusan dan keramah-tamahan yang sebenar-benarnya. Sambutan penduduk desa yang hangat kerap membuat kami trenyuh dan terasa sesak di dada. Bahkan menu paling spesial di Starbucks semisal caramel macchiato grande yang dihidangkan oleh gadis barista yang penuh senyum tak kan mampu menandingi kopi dalam gelas yang sederhana itu. Tak sekepul pun.

Tidak ada komentar: