Sabtu, 18 Oktober 2008

Memahami Laut Selatan

... kapan kita pernah memahami laut? memahami api yang tak hendak surut



Bagi saya pesisir Selatan Jawa Barat selalu memiliki ikatan emosi dibanding pantai lain dimanapun. Sejak tahun 80-an saat masih kecil saya sering diajak ayah menyambangi pantai-pantai sepanjang pesisir selatan Jawa Barat. Mulai dari Pangandaran, Cilauteureun, Ranca Buaya, Pangumbahan, Ujung Genteng, Pelabuhan Ratu hingga Cisolok.

Di pantai Pangumbahan, Sukabumi Selatan, kami yang masih anak-anak bergiliran menaiki punggung penyu hijau yang mendarat pada larut malam untuk bertelur. Di pesisir Selatan Sukabumi – saya tak ingat lagi nama pantainya- kami turut menemani memancing di pantai hingga dini hari. Bahkan menyeberangi laut menuju pulau yang dipenuhi beragam spesies burung. Tentu saja bukan acara memancing modern deep sea fishing layaknya para eksekutif yang memakai yacht. Ayah saya hanya pegawai negeri sipil yang mempunyai hobi memancing, maka paling banter hanya memakai sampan nelayan yang sederhana.

Penyusuran pantai di tahun 90-an seakan menjadi napak tilas dari perjalanan masa kecil dulu. Pada masa itu saya mulai menjelajahi pantai-pantai baru di pesisir Selatan, seperti Sayang Heulang, Santolo, Sancang, Cipatujah dan pesisir Ujungkulon. Bedanya bila dulu saya masih anak kecil yang berlari-lari di pantai di bawah pengawasan orangtua, kini saya bersama tim yang bahu membahu dalam menyeberangi muara sungai maupun rawa pesisir. Pendewasaan terjadi dari seorang junior yang terhuyung-huyung dibawah terik matahari hingga menjadi leader membimbing para peserta baru menyusuri lekuk pesisir Selatan.

Laut Selatan yang semasa kecil saya pandang dari jauh, saat itu deburnya terasa begitu dekat membasahi muka. Saat semalaman bertahan dari badai di pesisir Citandahan, Ujung kulon, laut terasa begitu dekat mengunjungi kami, seakan ia ingin memperkenalkan dirinya lebih dekat lagi. Saat itu saya menyadari betapa perkasanya Sang Laut, betapa tak ada kekuatan yang dimiliki manusia dibanding otot-otot alam. Bila mengingat deburan dahsyat ombak di gelapnya langit pada siang hari kala itu, yang dibarengi petir berkilatan sambar menyambar, saya tak heran bila Laut Selatan dapat memunculkan bencana tsunami seperti yang pernah melanda Pangandaran.

Namun di balik kekuatannya yang menghancurkan, saya merasakan kelembutan yang aneh. Terjangan ombaknya memang meratakan apapun yang ada di pesisir, namun yang sampai pada kami hanyalah tepukan-tepukan basah di pipi. Seakan Samudera Hindia mengulurkan tangannya membelai penuh rasa sayang. Saya merasa beruntung dipertontonkan laga kekuatan alam yang demikian dahsyat tanpa terancam keselamatan diri. Hmm.., saya yakin saat itu Sang Laut sedang melindungi kami dari kekuatannya sendiri yang maha dahsyat.

Perjalanan yang menguras tenaga dari muara ke muara merupakan pengalaman berharga yang membentuk karakter. Membuat kami belajar memahami karakter sejawat lain. Jejak-jejak kaki yang tenggelam di pasir menjadi saksi betapa semua berusaha keras untuk merasakan yang tak kasat mata, mendengar suara yang tak diucapkan dan mengendapkan ego pribadi. Intinya adalah kami belajar tentang kerendahan hati.

Menyusuri pesisir terik yang seakan tak berujung mengajarkan kami untuk tidak menjadi pribadi yang manja. Ada semacam kekuatan yang saya rasakan sejak itu. Entah apakah Sang Laut yang menarik kekuatan itu dari pribadi kami masing-masing ataukah ia menganugerahi kami sejumput dari kekuatannya.

Maka pesisir Selatan bagi saya lebih dari sekedar pantai. Ia merupakan sebuah cerita perjalanan hidup serta pendewasaan yang saya jalani bersama orang-orang terdekat. Memandangi horison lautnya membawa saya pada kenangan akan ayah dan jalinan persahabatan dengan teman-teman perjalanan. Saya mencoba memahami Laut Selatan, namun Sang Laut lebih memahami mereka yang menyambanginya.



Tidak ada komentar: