Sabtu, 18 Oktober 2008

Barat dan Timur Milik Tuhan


Tetapi kadang aku bertanya-tanya tidakkah melakukan perjalanan panjang ini hanya untuk menyadari bahwa yang kucari sebenarnya adalah sesuatu yang kutinggalkan di belakang (Thomas F. Hornbein)



Menjelajahi blank spot

Tak ada yang dapat menghalangi para petualang untuk sampai ke tempat tujuannya. Imajinasi telah membebaskan mereka dari belenggu kebudayaan materi masyarakat urban. Imajinasi untuk bebas dan menemukan keindahan telah mendorong para petualang pergi ke berbagai belahan bumi -dari ujung Barat hingga ke ujung Timur- untuk menjelajahi berbagai blank spot yang belum terpetakan, seakan tak mempedulikan lagi bahaya yang mengintai. Keinginan untuk memberi makna lebih pada hidup telah memberikan daya jelajah ekstra kepada para pemilik jiwa yang resah itu.

Maka tak ada medan yang terlampau ekstrim, tak ada udara yang terlalu tipis dan tak ada kesulitan yang tak terpecahkan bagi petualang dalam melakukan penjelajahan mereka. Bentangan alam dari Barat hingga ke Timur merupakan guru mereka. Ia bagaikan begawan yang mengasuh murid-muridnya dengan arif, ia tahu kapan bersikap tegas dan kapan pula bersikap penuh kelembutan. Hanya kepada insan yang paling dicintainya ia mengajari mereka dengan keras agar mendapat hikmah yang tak akan lekang

Maka temuilah puncak-puncak yang menunggu kedatanganmu, wahai para petualang. Seluruh mata penjuru angin dengan penuh harap dapat menuntunmu menjelajah dunia luas. Ambillah hikmah dari perjalanan dan sebarkan ilmu serta kearifan itu kepada mereka yang menantimu pulang. Saat tekadmu telah bulat maka hanya puncak-puncak gunung yang membuat hidup bernilai. Maka saat itu tak ada lagi rasa takut.

Berbagi ilmu

Arus informasi yang semakin deras bukannya tak memberi pengaruh positif pada dunia petualangan. Namun terlalu sering kita berharap mendapatkan semua informasi petualangan yang diinginkan, dan enggan membagi pengetahuan berharga yang dimiliki. Entah mengapa, bagi sebagian orang menutup rapat-rapat ilmunya seakan kenyamanan tersendiri. Banyak para petualang yang telah makan asam garam dunia outdoor enggan membagi ilmu kepada para pemula. Para pendekar kawakan itu seperti dilanda phobia bahwa suatu saat para pemula akan melampauinya, sehingga kalau pun berbagi ilmu amatlah terbatas. Diam-diam mereka masih menyimpan ilmu simpanan sebagai senjata pamungkas bila kelak para junior mulai menyamainya.

Dengan cara berpikir seperti itu tak heran bila pada perkembangannya masing-masing komunitas penggiat outdoor sering menjaga ilmunya rapat-rapat dan hanya diperuntukkan bagi kalangan sendiri. Bahkan setiap publikasi informasi seperti catatan, diktat maupun buku diembel-embeli stempel “RAHASIA”. Sebagian komunitas pecinta alam juga sampai kini juga masih menerapkan pola perekrutan anggota yang ribet. Sesuatu yang sebenarnya dapat dipermudah didesain menjadi sulit, dogmatis dan terkadang membahayakan. Mereka seperti tak rela membagikan ilmunya begitu saja tanpa membuatnya menjadi sulit. Padahal penerimaan anggota baru merupakan proses estafet informasi kepada masyarakat. Paradigma berpikir seperti itu tentulah sedikit banyak menghambat perkembangan dunia petualangan di negeri ini

Padahal alam tak pernah pelit membagi ilmunya. Setiap buih arus sungai, derak pepohonan, horison yang luas dan aroma hutan menawarkan semua informasi yang diperlukan tiap petualang. Menuju ke arah Barat maupun Timur petualang melakukan pengembaraannya, alam selalu melimpahkan pengetahuan kepada mereka. Tuhanlah yang menghendaki ciptaan-Nya untuk selalu menumpahkan ilmu kepada manusia. Namun merupakan pilihan mereka sendiri untuk memahami atau membiarkannya lewat begitu saja.

Open source

Awal tahun 90-an merupakan masa dimana para starter rafting di kampus mulai serius mengembangkan olahraga arung jeram. Didorong oleh keinginan yang besar untuk mempopulerkan olahraga ini, para penggiat oudoor di kampus membuka kesempatan para mahasiswa di kampus untuk secara bebas ikut berarung jeram. Berpuluh-puluh mahasiswa diajak ke Citarum dan diperkenalkan pada olahraga ini tanpa embel-embel keterikatan apalagi komersial. Sejak saat itu makin sering latihan-latihan rafting di Citarum maupun sungai lainnya yang terbuka bagi mahasiswa maupun orang luar. Pada tahun 1994 genre rafting pertama ini juga berinisiatif menyelenggarakan Sekolah Arung Jeram se-kota Bandung yang diperuntukkan kepada masyarakat luas.

Di awal tahun 90-an, saat akses ke olahraga arung jeram masih sangat terbatas, tanpa disadari mereka telah mencoba melampui cara berpikir masa itu. Walau saat ini tentu saja hal tersebut bukan merupakan hal yang luar biasa karena berbagai akses ke dunia outdoor telah semakin mudah dan luas. Namun yang saya rindukan adalah spirit idealisme yang inklusif, tanpa pamrih dan semata-mata berangkat dari keinginan memberi sumbangan pada dunia outdoor yang dicintai.

Outdoor activity kini bak open source yang bisa diakses oleh siapa saja, dari balita sampai lansia. Bicara rafting kini tidak lagi tentang heroisme Citarum Rally atau tragedi sungai Van der Wall namun juga bagaimana para turis kota yang tak pernah melihat kerbau di sawah dengan riang meliuk-liuk di jeram dimanjakan tangan-tangan handal operator rafting. Bicara pendakian gunung kini tidak lagi sebagai pembukaan jalur yang heroik di Leuseur atau hilangnya pendaki di Argopuro, namun juga ketika sebuah sekolah dasar membimbing para anak didiknya ke puncak Gunung Gede. Artinya bahwa konsep outdoor activity sudah banyak bergeser dari saat para pionir dulu merintisnya.

Syukurlah bahwa kini informasi semakin mudah diakses dan para penggiat outdoor pun telah semakin dewasa cara berpikirnya. Pada masa kini setiap perhimpunan harus dapat bertransformasi menjadi organisasi inklusif yang tak perlu risau dan phobia dengan menjamurnya aktivitas serupa di lingkungannya. Ilmu yang diwariskan alam kepada kita bukanlah milik kita melainkan harus dapat bermanfaat juga bagi orang lain.

1 komentar:

cezca mengatakan...

hmmmm... blog hopping here..