Sabtu, 18 Oktober 2008

Mendaki dengan Kerendahan Hati

Kerendahan hati mengalirkan kebaikan


Mendaki gunung adalah peristiwa yang menakjubkan. Bagi mereka yang pernah berdiri di puncak tertinggi, pasti merasakan hati yang berdesir saat menyaksikan salah satu pemandangan paling menakjubkan seumur hidupnya. Sensasi untuk berdiri di titik paling tinggi merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang tak terungkapkan. Semua rasa lelah dan penderitaan dalam menempuh perjalanan berat penuh bahaya seolah tiada berarti.

Selama dalam perjalanan maupun saat di puncak, akan terbukalah mata hati betapa kecilnya manusia dibanding keperkasaan alam dan Sang Pencipta. Siapapun akan tertegun melihat landscape keindahan tiada tara yang dapat disaksikan dari puncak gunung. Karya arsitektur manusia paling memukau sekalipun seperti tak berharga dibandingkan kontur alam yang menakjubkan ini. Menyaksikan sun rise dari puncak gunung adalah momen paling sulit untuk membendung takjub, terpukau oleh fenomena yang mengaduk-aduk emosi.

Alangkah tak wajar bila seorang pendaki malah menjadi tinggi hati setelah melakukan pendakian. Bukankah hanya dengan keramahan dan kelembutan alam saja seorang pendaki dapat menapaki jalan ke puncak. Banyak pendakian yang berakhir tragis, saat alam menjadi tak ramah. Sanggupkah kiranya mahluk lemah seperti manusia berkutik menghadapi kekuatan alam yang tak tertakar? Seorang pendaki sejati pulang dengan kerendahan hati yang semakin membuatnya terpekur.

Edmund Hillary yang merupakan pendaki pertama yang mencapai puncak tertinggi di dunia adalah sebuah contoh kerendahan hati itu. Ia selalu menyebut dengan “kami” dalam pemuncakannya yang legendaris di Everest. Baru sekian tahun setelah Tenzing Norgay – sherpanya saat detik-detik pemuncakan Everest- meninggal, Hillary mengakui bahwa ialah yang pertama mencapai puncak tertinggi di dunia itu.

Hilary pun tak sekedar mendaki Everest, yayasan Himalayan Trust yang didirikannya membantu membangun rumah sakit, sekolah, sarana kesehatan, jembatan bahkan landasan pesawat yang sangat membantu masyarakat sherpa di Kumbu, Nepal. Hingga akhir hidupnya Hillary tetaplah seorang yang rendah hati dan gemar hidup sederhana.

Padahal pendaki yang memiliki raut muka sekeras batu karang ini bagai pusaka nasional di negaranya, Selandia Baru.

Kata-katanya amat berpengaruh dan dihormati. Ratu Inggris menganugerahinya gelar Sir dan wajahnya pun diabadikan dalam lembaran kertas lima dolar mata uang Selandia Baru. Para pemandu profesional yang biasa mengantar tim ke Everest pernah kelabakan ketika Hillary mengkritik komersialisasi Everest dan menyebutnya sebagai “penghinaan pada gunung tersebut”. Sang legenda Everest ini begitu menghormati Himalaya dan kehidupan di sekitarnya. Sir Edmund Hillary wafat tanggal 11 Januari 2008 lalu dengan meninggalkan banyak kenangan dan jejak kebaikan.

Saya rasa tak penting menceritakan berapa kali kita telah mendaki sebuah gunung atau kemana saja kita telah melakukan pendakian. Namun apakah kita menjadi pribadi yang lebih baik setelah melakukannnya. Apakah kita telah memberikan manfaat bagi sesama dan menjadi pribadi yang indah bagi orang lain. Saya teringat segelintir pahlawan yang selalu enggan membicarakan jasa-jasanya bila ada yang bertanya. “Biarlah Tuhan saja yang menilai”, tuturnya. Menakjubkan.

Tidak ada komentar: