Sabtu, 18 Oktober 2008

Badra Surya Membelah Tanah Jawa

Aku merasakan di dalam diriku tumpukan energi sangat besar

yang tidak menemukan penyaluran

di dalam kehidupan kita yang tenang (Tolstoy)


Pada tahun 1990-an KA Badra Surya adalah kereta api kelas ekonomi dari Stasiun Bandung di Kebon Kawung menuju Stasiun Surabaya Gubeng. Trayek panjang ini populer bagi para petualang di kampus sebagai moda transport paling terjangkau untuk menuju the final frontier. Kereta api kelas ekonomi ini memiliki andil dalam memberangkatkan tim-tim ke arah Timur, terutama pada kurun waktu go to east, saat masa perjalanan yang dilakukan para mahasiswa di kampus dalam mendaki gunung-gunung di kawasan timur.

Transportasi murah meriah

Bagaimana tidak ekonomis, pada saat itu hanya dengan Rp. 8.500,- para petualang kita sudah sampai di Surabaya dan dengan menambah Rp. 2.000,- lagi maka akan disambung dengan kereta ke Banyuwangi lalu dengan bis DAMRI menuju Denpasar. Berbagai gunung dengan ketinggian diatas 3000 meter di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan tujuan utama serigala-serigala muda kampus masa itu.

Transportasi yang murah meriah pada saat itu merupakan pilihan paling realistis bagi para mahasiswa untuk menuntaskan hasrat petualangannya. Lebih baik menyisihkan dana yang ada untuk mendapatkan logistik dan peralatan outdoor yang berkelas, sementara lamanya perjalanan bisa ditanggulangi dengan stamina yang memadai. Tak heran bila carrier dengan merek Karrimor atau Lowe, jaket berbahan Gore-tex dan kamera Nikon sudah sejak lama menemani perjalanan.

Stamina puncak dari tiap anggota tim amat diperlukan sepanjang perjalanan, agar tak drop sebelum pendakian dilakukan. Perlu waktu empat hari dari Bandung saat itu menuju dusun Pancasila di kaki gunung Tambora. Bandingkan kini dengan pesawat yang hanya perlu waktu 2,5 jam dari Jakarta ke Bima, kota terdekat dari dusun Pancasila.

Petualangan baru di jalan

Unsur petualangan justru amat kental di dalam perjalanan yang dilakukan dan bisa dikenang dengan geli dan penuh senyum. Akibat berangkat pada masa arus balik Lebaran 1995, tim yang berangkat ke Kerinci terpaksa berdesakan dalam bis transmigran saat perjalanan menuju kota Bangko, terminal bis AKAP di Jambi. Tak hanya memuat para transmigran, hewan-hewan peliharaan pun ikut menambah hiruk pikuk suasana dalam bis. Untuk menuju kaki Tambora dari kota Dompu, tim harus menumpang truk terbuka dengan alas duduk yang hanya balok kayu selama delapan jam. Sedangkan pos Ranupane di kaki gunung Semeru dicapai dengan tiga jam menumpang jip bak terbuka yang dijejali 15 orang.

Sementara suasana tegang di terminal maupun stasiun sungguh tak terhitung. Dari kejar-kejaran dengan preman, bersitegang dengan calo atau Polsuska sampai kasak-kusuk ke loket karena karcis sudah habis. Namun banyak pula bantuan-bantuan yang didapatkan secara tulus dan menggetarkan, seperti perahu-perahu nelayan yang turut membantu dalam penyeberangan muara-muara sungai.

Transportasi laut pun tak kalah seru dan ekonomis. Armada kapal laut Pelni dari Tanjung Priok maupun Tanjung Perak seperti KM Binaiya, Rinjani, Umsini dan sebagainya merupakan langganan para young guns menyeberangi Laut Jawa menuju Kalimantan dan Sulawesi. Tak jarang demi efisiensi waktu, perjalanan menyeberangi selat seperti di Selat Sumbawa ditempuh dengan kapal motor kayu yang berlebih muatan, sehingga amat rawan bila cuaca buruk.

Bahkan tim pengembaraan Ujungkulon selama beberapa hari menumpang kapal barang yang mensuplai logistik antar mercusuar pulau terluar di Samudera Hindia, agar dapat keluar dari neraka badai di Semenanjung. Saya sempat terkesiap ketika beberapa waktu lalu profil kapal barang Panca Masa itu diangkat oleh Metro TV. Kembali terbayang deburan ombak besar Samudera Hindia serta angin kencangnya yang amis. Sejenak saya merasa berada diantara gelombang yang liar, awak kapal yang tangguh dan awal sebuah persahabatan penuh karakter.

Hikmah di perjalanan

Tentu saja semua aroma petualangan itu takkan terasa bila anda memiliki cukup kemewahan untuk memilih moda transport yang nyaman. Kereta Api executive kelas Argo jelas merupakan pilihan bila cukup dana di kantong atau dengan menaikkan sedikit lagi anggaran maka tiket maskapai penerbangan low carrier cost bisa didapat supaya lebih menghemat waktu ke kota-kota tujuan. Bis-bis super executive pun siap mengantar ke kota-kota awal pendakian di Jawa-Bali dan Sumatera.

Namun para petualang dari kampus itu telah mendapat banyak hikmah dalam berbagai keterbatasan yang ada. Perjalanan-perjalanan yang panjang telah membuat hati mereka langsung bersentuhan dengan berbagai lapisan masyarakat, hingga yang paling marjinal sekalipun. Mata hati yang masih segar dan polos itu diperkenalkan kepada kerasnya kehidupan rakyat kecil, lalu dituntut untuk mengambil hikmahnya. Saya rasa inilah salah satu rahasia sang alam membimbing para serigala muda itu dalam melunakkan hati mereka yang sekukuh karang, selain men-drill mereka di medan operasi sesungguhnya.

Entah kini masih beroperasi atau tidak, namun moda transport irex (irit –ekonomis) seperti KA Badra Surya telah berjasa menghamparkan luasnya dunia petualangan kepada para marhaen muda. Dengan setia ia menuntun para petualang itu dari bayi yang tertatih-tatih untuk tumbuh menjadi serigala-serigala muda. Lalu menghantarkan mereka dewasa menjadi para singa, sang penguasa padang perburuan yang sesungguhnya.

Tak ada yang dapat menghalangi para petualang untuk sampai ke tempat tujuannya. Muara-muara sungai akan direnangi dan jurang pun dijembatani. Saat tak ada lagi alat transportasi, mereka akan tetap melangkah menuju tujuan. Bila melangkahkan kaki pun sudah tak sanggup, mereka akan merangkak dengan lututnya. Bahkan ketika lutut-lutut itu pun telah tak berdaya, mereka akan merayap dengan tangan-tanganya untuk menggusur tubuhnya menuju tempat tujuan. Moda transport sesungguhnya dari para pemilik jiwa yang resah itu adalah daya jelajah mereka sendiri, yang lahir dari keinginan yang kuat untuk memberi makna lebih pada hidup.

Tidak ada komentar: