Sabtu, 18 Oktober 2008

Kearifan Para Marhaen

Humanisme tidak salah ketika mengatakan bahwa kebenaran, keindahan, kebebasan, dan kesetaraan adalah nilai yang tinggi tapi meleset kalau menganggap manusia bisa meraih semua itu tanpa karunia ( Simone Well, 1909-1943)

Suatu hari di bumi Priangan, Bung Karno (BK) muda berjumpa dengan seorang petani miskin bernama Marhaen. Ia mewakili potret kemelaratan rakyat kecil yang tereksplotasi karena tak mempunyai akses untuk memiliki faktor produksi. Pertemuan dengan petani lugu yang mengalami kemiskinan struktural tersebut sangat menyentuh hati BK seakan menyayat-nyayat hatinya. Petani gurem layaknya Mahaen adalah seperti wajah kemiskinan sendiri.

Pertemuan itu merupakan momentum yang membangkitkan inspirasi besar bagi seorang Soekarno muda dalam membela nasib wong cilik, yang kemudian diakomodasi BK dalam paham marhaenisme. Saat menjelang wafatnya, BK mewasiatkan agar jenazahnya dimakamkan di tatar Priangan dimana beliau bisa berdekatan dengan kaum Marhaen yang senantiasa dekat di hatinya. Sayang, permintaan terakhir beliau tak dipenuhi oleh rezim pemerintah Orde Baru L.

Ketulusan hati

Perjalanan panjang dan melelahkan kerap dilakukan para petualang menuju tempat berakhirnya sebuah peradaban manusia. Dalam petualangannya tersebut mereka langsung bersentuhan dengan masyarakat lugu yang berjuang keras membanting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi bagi keluarganya. Ah, alangkah berbeda nasib mereka dengan kita para petualang yang menghabiskan rupiah untuk kebutuhan yang bahkan tak terpikirkan oleh kaum miskin itu.

Bagaimana bila kita analogikan kedatangan para petualang itu dengan pertemuan BK dan petani Marhaen? Sosok BK mewakili produk intelektual kota dengan kehidupan mapan yang gelisah dengan idealisme. Namun petani miskin tak punya kesempatan berpikir tentang idealisme, hidupnya selalu resah memikirkan sesuap nasi bagi keluarganya atau memikirkan pengobatan bagi anaknya yang sakit.

Puluhan juta orang seperti Marhaen mempercayakan para intelektual seperti BK untuk memikirkan idealisme. Sementara ia cukuplah membanting tulang setiap hari sampai tuanya seraya menyambut setiap tamu dari kota dengan ketulusan hati yang menghanyutkan sang tamu. Namun sungguh ketulusan hati seperti itu ibarat rahim subur yang melahirkan sebuah paham begitu menggetarkan yang kemudian dipopulerkan oleh BK: marhaenisme.

Saya tak pernah dapat menghitung ketulusan hati orang-orang kecil yang kerap ditemui dalam petualangan yang dilakukan. Dari kesahajaan suku Dayak di Rawa Mandor, ketulusan masyarakat Duri di Latimojong hingga kearifan orang-orang seperti Mbah Serani di kaki gunung Raung. Sungguh beruntung bila kita dapat sedikit saja memunguti ceceran kearifan lokal dari masyarakat kecil seperti mereka. Tugas para petualang adalah menularkan kearifan lokal yang didapat nun jauh di pelosok itu kepada kesumpekan masyarakat kota.

Tentang manusia

Bulan Mei 1993 saya bergabung dengan rekan-rekan di kampus memulai kick-off pendakian go to east dengan tujuan gugusan puncak-puncak gunung di Timur. Kali ini dengan tujuan gunung Lawu via jalur pendakian Cemoro Kandang. Di puncak gunung Lawu yaitu Hargo Dumilah (3265 mtr dpl) -yang dipercaya sebagai tahta Raja Brawijaya dari Majapahit- tim yang datang sarat dengan ide heroisme disambut seorang peziarah lokal. Para petualang yang dibungkus jaket Gore-tex dan sepatu gunung ber-gaiter sempat terkesima dengan pertapa bersandal yang hanya memakai sarung untuk menahan dingin J. Setelah berbagi rokok kretek, sekelumit pembicaraan pun mengalir di puncak Hargo Dumilah. Ah, tanpa dinyana pertapa misterius tersebut mengajak berbicara panjang lebar mengenai manusia dan kehidupan.

Terus terang saat itu tak banyak filosofi yang dapat ditangkap oleh para young guns tersebut. Namun saya yakin dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh untuk memahami ide-ide besar tersebut. Dan bahan-bahan yang diperlukan untuk memahaminya akan mereka dapat dari tiap perjalanan yang dilakukan, terutama dari ketulusan hati rakyat kecil.

Awalnya pun saya menduga bahwa nilai-nilai heroisme akan memperkaya jiwa dan karakter setiap petualang yang pulang dari perjalanan ekstremnya. Namun eforia heroisme seperti itu terpatahkan secepat saya mengawali dunia petualangan dalam pengembaraan ke Ujungkulon. Lalu perlahan saya mulai meyakini, bukan ide tentang heroisme maupun ekstrimnya alam yang sewajarnya dihayati para petualang dari perjalanannya tersebut. Melainkan ide tentang manusia.

Ah, ...lalu saya dapat memahami mengapa Butet pergi ke pedalaman Jambi untuk mengajar suku rimba Anak Dalam dan Ami mendaki puncak salju Kalapattar (5545 mtr dpl) di Himalaya untuk membantu pengidap penyakit lupus. Mereka tampaknya sedang berbicara mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Entah kita menangkapnya atau tidak...

.

Tidak ada komentar: