Sabtu, 18 Oktober 2008

Romantisme Pendakian ala Michaelangelo


Human interest adalah penjelajahan terbesar seorang petualang

Apabila anda seorang peminat olahraga mendaki gunung yang serius tentunya setelah pendakian pertama anda tidak kapok dan berhenti begitu saja, namun mencari informasi-informasi yang relevan untuk pendakian selanjutnya. Dan begitulah seterusnya sampai anda lupa telah berapa gunung yang didaki atau pendakian yang keberapa yang anda lakukan.

Setelah melakukan pendakian gunung yang pertama bahkan yang kesekian kalinya maka kita mulai mendapatkan gambaran yang obyektif tentang sebuah pendakian. Kita telah merasakan perlunya memperhitungkan waktu pendakian, perlengkapan standar untuk sebuah perjalanan yang nyaman berikut memahami safety prosedur sebuah perjalanan.

Because it is there?

Bagi seorang pendaki gunung sering terbersit pemikiran yang simpel, yaitu mendaki gunung cukuplah sebagai mendaki gunung. Tak perlulah seorang pendaki membuat dan memikirkan argumentasi sedemikian rupa untu menjelaskan kenapa mereka melakukannya. Toh, bagi orang awam apapun argumentasinya kegiatan mendaki gunung tetaplah dianggap hal yang tak masuk di akal.

Maka Sir George Leigh Mallory – hilang dalam expedisi Everest 1924 - hanya menjawab singkat setengah kesal “Because it is there..” saat ditanya kenapa ia ingin menaklukan puncak gunung. Segera saja umpatan singkat itu diimbuhi dengan seabreg filosofi pendakian yang berat dan populer hingga kini, walau sebuah rumor –yang tak perlu anda percayai- menyebutkan Sir Mallory saat itu sedang terburu-buru menuju ke toilet.

The Seven Summits

Pendakian kawasan dalam konteks internasional telah populer sejak beberapa masa lalu dimana para pendaki elite membagi belahan dunia ini ke dalam tujuh kawasan dengan masing-masing puncak tertingginya (seven summits). Salah satunya adalah kawasan Australia-Oceania dimana puncak tertinggi berada di Indonesia yaitu Carstenz Pyramid (4884 meter dpl) di Papua.

Sungguh tak ada salahnya bila dalam melakukan pendakian gunung di tanah air ini kita melebarkan minat pendakian ke kawasan nusantara lainnya. Tentunya akan banyak pengalaman baru di tengah karakter gunung yang berbeda bila kita mendaki gunung di kawasan nusantara yang berlainan. Sehingga akan didapatlah koleksi puncak-puncak kawasan yang akan lebih memperkaya wawasan pendakian seseorang.

Kawasan manakah yang dapat kita jadikan target pendakian kawasan di wilayah nusantara? Terserah anda, sebetulnya. Anda mempunyai penilaian subyektif sendiri untuk membagi-bagi nusantara ini ke dalam beberapa kawasan namun yang penting adalah setelah melakukan pendakian gunung di kawasan-kawasan yang berbeda tersebut maka anda mendapatkan suatu pencapaian tersendiri.

Namun tak ada salahnya bila kita membagi nusantara ini ke dalam tujuh kawasan kepulauan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali-Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Maka didapatlah tujuh puncak yang boleh-boleh saja kita katakan seven summits juga. Sehingga pendakian kawasan tersebut tentunya akan menjadi suatu khazanah pendakian tersendiri yang tak seorang pun akan menyangkal keanggunan pencapaiannya.

Explorasi Sang Maestro

Michaelangelo memahat patung demikian memikatnya karena ia melakukannya berbeda dengan pemahat patung lainnya. Seorang pemahat kala itu melihat pekerjaannya memahat sebagai upaya menyambung hidup atau sebuah expresi diri. Namun ketika Michaelangelo ditanya kenapa ia memahat batu, sang maestro dengan anggun bersabda “..Aku melihat malaikat dalam sebuah batu dan aku akan terus memahat sampai ia terbebaskan.”

Apakah anda telah mendengar bisikan-bisikan lembut undangan para malaikat untuk menuju puncak gunung yang suci, menyaksikan kesempurnaan ciptaan Sang Agung dan menikmati setiap peluh sebagai proses pensucian? Cukuplah anda menjawabnya secara anggun yaitu dengan segera melakukan packing perlengkapan pendakian gunung dan berangkat. Nah, lalu kapan akan anda memulai?

Tidak ada komentar: