Sabtu, 18 Oktober 2008

Hidup tak Hanya untuk Sepotong Roti




Aku berharap memiliki kesederhanaan

dan menemukan pandangan yang lebih benar

tentang manusia dari kehidupan yang liar (Estwick Evans )


Hidup akan lebih mudah bila tak banyak pilihan, namun tak selalu demikian yang terjadi.

Kualitas pribadi seseorang seringkali diukur oleh keberaniannya menentukan pilihan. Ketika seorang pemuda dengan penuh keyakinan menanggalkan kenyamanan kota dan membuka dirinya ditempa alam, maka sebuah jalan telah dipilih. Tak ada yang memaksanya menempuh jalan penuh kerikil itu. Namun bersama sekelompok insan penuh idealisme, ia mengabaikan keletihan saat dihujani badai dan kesakitan untuk kembali ke pangkuan alam.

Soekarno pernah berkata lantang, “Beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengubah dunia.” Para pemudalah yang dapat menyelamatkan dunia. Tak seorangpun tahu sampai dimana kekuatan para pemuda. Kepada mereka banyak orang berharap untuk menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik. Bagi seorang fakir, dunia baginya mungkin hanyalah sebuah gubuk reyot. Namun itulah dunia yang membuatnya hidup. Maka ketika gubuknya hancur diterjang banjir atau longsor, hanya pada para pemuda lah ia berharap.

Ibu yang perkasa

Seolah sudah tak ada tempat yang benar-benar aman untuk ditinggali di bumi nusantara ini. Bencana menyambangi setiap ragam tempat yang ditinggali manusia di negara zamrud khatulistiwa ini. Bencana alam maupun berbagai kecelakaan akibat kecerobohan kerap meminta korban yang memilukan. Malapeka terjadi di semua wahana, di samudera kapal laut terbakar dan tenggelam, di udara pesawat jatuh, di darat pun kereta api yang terlempar ke jurang. Bencana alam seperti tsunami, gempa, longsor hingga luapan lumpur dan banjir bandang bergantian mendera Ibu Pertiwi.

Ketika pemerintah sudah angkat tangan tak mampu melindungi warganya, Ibu Pertiwi masih mendekap dan melindungi anak-anak kehidupan dari angkara murka bencana. Kasih yang tulus memberinya kekuatan melindungi mereka dari biluh-biluh penderitaan. Bila ia tak melindungi anak-anak kehidupannya, tentu bencana akan membinasakan umat manusia. Maka setiap biluh dan luka ditahannya demi melindungi anak-anak manusia. Namun entah sampai kapan ibu nan perkasa sanggup bertahan dari berbagai derita demi melindungi anak-anak kehidupan yang teramat dikasihinya.

Belajar dari para grandmaster

Ibu pertiwi selalu berusaha menyembunyikan penderitaan dari anak-anaknya. Namun para insan yang dibesarkan oleh alam merasakan betul tetes demi tetes air mata penderitaannya. Merekalah para pemuda yang dulu kerap dibelai kelembutan sekaligus diajari ketegasan oleh Sang Alam. Ibu pertiwi telah mengirimkan para grandmaster untuk menempa para pemuda yang memiliki kekerasan hati itu agar mewarisi karakter langit. Namun dibalik kekerasan hatinya, Sang Alam meraba kehalusan nurani mereka. Para pemuda itu adalah pribadi yang tak akan segan menentang bencana yang murka, namun di sisi lain akan bersikap lembut.

Dan mahaguru yang menempa mereka adalah para penguasa alam -pemilik kunci-kunci menuju gudang pengetahuan. Badai dahsyat, sungai yang liar, gunung-gunung yang membekukan, kelebatan hutan adalah sebagian dari guru-guru para insan alam itu. Seperti kekuatan alam yang tak dapat ditakar, maka mereka akan mewarisi pula kekuatan karakter itu. Tak siapapun yang dapat menghalangi semangat mereka yang telah sejak belia dididik oleh para grand master.

Bencana pun bertakzim

Intuisi untuk peduli pada alam dan sesama merupakan karunia Tuhan pada manusia. Tak semua orang dibukakan hatinya untuk tergerak memelihara alam dan membantu sesamanya. Namun segelintir tetap percaya pada kewajiban tersebut dan mereka tampil sebagai penyelamat bagi mereka yang membutuhkannya. Seperti kata Carnegie, hidup ini tak hanya untuk sepotong roti.

Maka bila suatu saat mereka menanggalkan kenyamanannya dan kembali bersimbah peluh demi sesama, Sang Alam pun akan memerintahkan semua bencana tunduk pada mereka. Bencana paling dahsyat pun akan bertakzim pada mereka yang menanggalkan kepentingannya lalu membantu sesamanya.

Mungkin agak berlebihan, tapi saya rasa hukumnya mendekati wajib bagi para insan yang pernah dibesarkan oleh alam untuk sewaktu-waktu kembali sowan kepada para mahagurunya itu. Anda tak akan pernah dapat membayangkan rasa haru seorang guru yang dijenguk dengan penuh respek oleh para anak didiknya.

Tidak ada komentar: