Sabtu, 18 Oktober 2008

Menembus Waktu di Gua Pawon

Barangkali masa lalu tidak berada di belakang dan masa yang akan datang tidak berada depan, namun keduanya saling berdampingan dengan kita di masa kini. dan akan selalu terus demikian menemani kita.

Bagi kebanyakan warga Bandung dan Padalarang, Gua Pawon hanyalah sekedar sebuah gua yang telah ada sejak dulu kala tanpa ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Bahkan hanya sebagian kecil saja masyarakat Bandung yang mengetahui keberadaannya sejak gua ini dinyatakan sebagai situs prasejarah yang dilindungi. Letak Gua Pawon terdapat di Pasir Pawon daerah Padalarang, Kabupaten Bandung, pada ketinggian antara 700 m di atas permukaan laut. Pasir Pawon merupakan bagian dari kawasan gugusan karst gunung Masigit yang terletak 25 kilometer sebelah barat kota Bandung.

Situs prasejarah

Gua Pawon terbentuk oleh proses geologi dalam waktu puluhan sampai ratusan ribu tahun yang lalu. Letak gua ini menghadap ke lembah yang subur sehingga merupakan tempat yang ideal sebagai tempat tinggal manusia prasejarah. Pada tahun 2000 di situs Gua Pawon telah ditemukan peninggalan prasejarah setelah melalui penelitian geofisika dengan metode geomagnetik. Penggalian lanjutan di tahun 2001 kembali berhasil menemukan kerangka dan tengkorak manusia prasejarah.

Manusia Pawon diperkirakan kelompok manusia prasejarah dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Mereka merupakan kelompok manusia pengembara yang menelusuri pantai Danau Bandung Purba sambil berburu binatang untuk makanannya. Hasil buruannya antara lain hewan seperti kerbau, babi hutan, rusa dan monyet.

Manusia Pawon kemungkinan hidup pada masa antara 10 – 6 ribu tahun yang lalu, yaitu Kala Plestosen akhir –Holosen awal.. Hal ini didasarkan pada artefak-artefak yang terkumpul dari beberapa tempat yang dulunya merupakan Danau Bandung Purba. Beberapa fosil manusia prasejarah yang mungkin hidup sezaman dengan manusia Pawon antara lain manusia Wajak di Indonesia, Hoabinian di Vietnam dan Minatogawa di Jepang.

Area berlatih

Setelah kawasan ini termasuk dalam cagar situs prasejarah yang dilindungi tentunya kini tak sembarang orang dapat leluasa keluar masuk Gua Pawon seperti dulu. Padahal sejak lebih dari dua dekade silam gua Pawon merupakan area berlatih caving bagi para pecinta alam di Bandung karena letaknya yang tak terlalu jauh dari kota. Disinilah mereka memperdalam skill caving seperti single rope, chimney, rescue dan sebagainya. Ilmu-ilmu dasar karstologi dan lingkungan gua juga dapat leluasa dipelajari dikawasan ini.

Bahkan area Gua Pawon yang berdekatan dengan tebing Citatah ini biasanya merupakan salah satu base camp dalam rute pendidikan dan latihan dasar mahasiswa di Bandung Barat. Base camp lain di kawasan Bandung barat ini antara lain tebing Citatah, Situ Ciburuy dan Bantar Caringin di aliran sungai Citarum. Long march menuju Gua Pawon dari gunung Burangrang atau Situ Lembang merupakan salah satu materi lapangan yang cukup menguras fisik dalam pendidikan ini. Demikian pula saat meninggalkan Pawon menuju tempat lain seperti Bantar Caringin ataupun Rajamandala.

Saat berada dalam area gua yang lapang, terbentanglah dari celahnya lembah yang subur. Tampak sungai Cibukur mengalir berkelok-kelok di area pesawahan tanpa pernah kering walau di saat kemarau. Area gua yang lembab dan agak gelap memberikan suasana temaram yang aneh. Sebagai orang awam dalam arkeologi maupun geologi, saya tak terlampau merasakan sensasi yang berlebih ketika ditemukannya peninggalan prasejarah di gua Pawon. Namun aura masa lalu di gua Pawon memang amat terasa sejak dulu.

Kesunyian masa silam

Ibarat kita mengunjungi kediaman seseorang, maka keberadaannya seringkali terasa walau pemiliknya tak ada. Demikian pula ketika kita berada di dalam gua Pawon yang telah dihuni selama ribuan tahun oleh manusia prasejarah. Dengan kontur gua yang relatif tak berubah selama ribuan tahun, maka ada aura kesunyian masa silam saat kita menghabiskan waktu di dalamnya.

Sensasi yang sama terasa ketika para petualang melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok tempat terpencil. Dalam kesunyian yang membisu, serasa ada pertalian yang tak kentara dengan para pionir sebelumnya. Kondisi alam yang relatif tetap sama selama ratusan tahun seperti menitipkan keabadian spirit para pendahulu. Alam adalah penyimpan yang teliti dan pengingat yang baik. Maka saya ikut merasakan semangat yang liar dan juga keharuan yang tragis ketika mendapati nisan-nisan para pendaki yang wafat dipeluk hawa beku pegunungan, atau saat melewati jeram-jeram liar di sungai yang pernah menelan korban.

Jauh sebelum para peneliti dan pemerintah meyakini keberadaan Gua Pawon sebagai situs prasejarah yang perlu dilindungi, para caver telah menyimpan respek yang dalam terhadap keberadaannya. Para petualang itu sadar bahwa mereka hanyalah tamu dari kesunyian agung masa silam. Dalam kapasitasnya sebagai tamu mereka menyadari betul etika menjelajah yang arif. Tak hanya di Gua Pawon, namun di semua tempat yang mereka jelajahi dengan kelapangan hati.

Mereka senantiasa merasakan pertalian yang aneh dengan masa yang silam, seakan masa yang telah lewat itu berada merambat di sampingnya. Tapi, bukankah itu yang kerap dirindukan oleh siapapun, yaitu kembali kepada masa silamnya. Saat dunianya masih polos dan hatinya masih terjaga.

Romantisme Pendakian ala Michaelangelo


Human interest adalah penjelajahan terbesar seorang petualang

Apabila anda seorang peminat olahraga mendaki gunung yang serius tentunya setelah pendakian pertama anda tidak kapok dan berhenti begitu saja, namun mencari informasi-informasi yang relevan untuk pendakian selanjutnya. Dan begitulah seterusnya sampai anda lupa telah berapa gunung yang didaki atau pendakian yang keberapa yang anda lakukan.

Setelah melakukan pendakian gunung yang pertama bahkan yang kesekian kalinya maka kita mulai mendapatkan gambaran yang obyektif tentang sebuah pendakian. Kita telah merasakan perlunya memperhitungkan waktu pendakian, perlengkapan standar untuk sebuah perjalanan yang nyaman berikut memahami safety prosedur sebuah perjalanan.

Because it is there?

Bagi seorang pendaki gunung sering terbersit pemikiran yang simpel, yaitu mendaki gunung cukuplah sebagai mendaki gunung. Tak perlulah seorang pendaki membuat dan memikirkan argumentasi sedemikian rupa untu menjelaskan kenapa mereka melakukannya. Toh, bagi orang awam apapun argumentasinya kegiatan mendaki gunung tetaplah dianggap hal yang tak masuk di akal.

Maka Sir George Leigh Mallory – hilang dalam expedisi Everest 1924 - hanya menjawab singkat setengah kesal “Because it is there..” saat ditanya kenapa ia ingin menaklukan puncak gunung. Segera saja umpatan singkat itu diimbuhi dengan seabreg filosofi pendakian yang berat dan populer hingga kini, walau sebuah rumor –yang tak perlu anda percayai- menyebutkan Sir Mallory saat itu sedang terburu-buru menuju ke toilet.

The Seven Summits

Pendakian kawasan dalam konteks internasional telah populer sejak beberapa masa lalu dimana para pendaki elite membagi belahan dunia ini ke dalam tujuh kawasan dengan masing-masing puncak tertingginya (seven summits). Salah satunya adalah kawasan Australia-Oceania dimana puncak tertinggi berada di Indonesia yaitu Carstenz Pyramid (4884 meter dpl) di Papua.

Sungguh tak ada salahnya bila dalam melakukan pendakian gunung di tanah air ini kita melebarkan minat pendakian ke kawasan nusantara lainnya. Tentunya akan banyak pengalaman baru di tengah karakter gunung yang berbeda bila kita mendaki gunung di kawasan nusantara yang berlainan. Sehingga akan didapatlah koleksi puncak-puncak kawasan yang akan lebih memperkaya wawasan pendakian seseorang.

Kawasan manakah yang dapat kita jadikan target pendakian kawasan di wilayah nusantara? Terserah anda, sebetulnya. Anda mempunyai penilaian subyektif sendiri untuk membagi-bagi nusantara ini ke dalam beberapa kawasan namun yang penting adalah setelah melakukan pendakian gunung di kawasan-kawasan yang berbeda tersebut maka anda mendapatkan suatu pencapaian tersendiri.

Namun tak ada salahnya bila kita membagi nusantara ini ke dalam tujuh kawasan kepulauan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali-Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Maka didapatlah tujuh puncak yang boleh-boleh saja kita katakan seven summits juga. Sehingga pendakian kawasan tersebut tentunya akan menjadi suatu khazanah pendakian tersendiri yang tak seorang pun akan menyangkal keanggunan pencapaiannya.

Explorasi Sang Maestro

Michaelangelo memahat patung demikian memikatnya karena ia melakukannya berbeda dengan pemahat patung lainnya. Seorang pemahat kala itu melihat pekerjaannya memahat sebagai upaya menyambung hidup atau sebuah expresi diri. Namun ketika Michaelangelo ditanya kenapa ia memahat batu, sang maestro dengan anggun bersabda “..Aku melihat malaikat dalam sebuah batu dan aku akan terus memahat sampai ia terbebaskan.”

Apakah anda telah mendengar bisikan-bisikan lembut undangan para malaikat untuk menuju puncak gunung yang suci, menyaksikan kesempurnaan ciptaan Sang Agung dan menikmati setiap peluh sebagai proses pensucian? Cukuplah anda menjawabnya secara anggun yaitu dengan segera melakukan packing perlengkapan pendakian gunung dan berangkat. Nah, lalu kapan akan anda memulai?

Pengorbanan Takkan Sia-sia

Di keheningan alam

Di tengah rimba sunyi

Kuberjalan seorang diri

Sbagai seorang kelana..

(Balada Seorang Kelana, Iwan Abdulrahman)


Pada tahun 1964 di puncak gunung Burangrang Iwan Abdulrahman muda menciptakan lagu Balada Seorang Kelana untuk empat rekannya yang sedang tersesat di gunung itu. Lagu itu dinyanyikan lewat radio untuk memberi dukungan moril bagi para pendaki yang tersesat yang juga mendengarkannya lewat radio. Saya dapat membayangkan kala itu gunung Burangrang masih merupakan hutan teramat lebat yang jarang dikunjungi manusia.

Saya dapat merasakan kegetiran Abah Iwan saat itu ketika menunggu nasib rekan-rekannya yang tersesat dalam rimba belantara. Tak ada yang paling menyedihkan dalam sebuah pendakian gunung selain rasa getir akan musibah yang dialami rekan perjalanan.

Kewaspadaan tinggi

Gunung Burangrang (2.064 meter) memang tidak terlampau tinggi dan cukup aman untuk didaki sehingga cocok untuk sekedar treking di seputar Bandung. Setidaknya ada tiga jalur yang dapat kita lalui untuk mencapai puncaknya, yaitu lewat Kertawangi (Pos Komando), Legok Haji dan Cisurupan. Namun sungguhpun merupakan gunung dengan tingkat kesulitan yang rendah, di gunung kita tak diijinkan untuk memandang sepele kondisi apa pun.

Pegunungan adalah suatu lingkungan yang menuntut kewaspadaan tinggi dan respek yang besar. Gunung yang ramah sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi monster yang tak terhentikan. Kehilangan konsentrasi ataupun kelalaian kecil saja dapat membawa resiko maksimal. Batu nisan pertanda meninggalnya seorang pendaki di puncak gunung Burangrang memberi peringatan bagi para pendaki untuk tetap bersikap waspada.

Saya pun merasakan kegetiran yang mendalam di seputar gunung ini, ketika seorang rekan mahasiswa roboh selepas long march dari gunung Burangrang. Saat itu tak ada lagi yang dapat lagi kami lakukan selain mengevakuasinya ke Rumah Sakit terdekat. Tuhan mentakdirkan lain saat itu, dua hari kemudian rekan kami dipanggil dalam usia yang teramat muda. Mungkin sekitar 19 tahun.

Pengorbanan takkan sia-sia

Peristiwa itu cukup mengguncang batin hingga saya mempertanyakan kembali manfaat kegiatan petualangan yang saya lakukan. Kepercayaan diri saya pada kegiatan petualangan melorot hingga titik nadirnya. Sekian lama saya terbayang-bayang sembilu yang menghujam hati seorang ibu saat harus menerima kenyataan kehilangan anak yang dikasihinya. Membayangkan genangan air mata kesedihan dari seorang wanita paruh baya yang telah membesarkan anaknya dengan susah payah dan tetesan darah.

Namun setelah lama merenungkan hal tersebut, akhirnya saya mempunyai pemikiran yang lain. Alih-alih berhenti dari kegiatan bertualang dan mendaki gunung, saya bertekad untuk belajar sekeras mungkin agar menjadi petualang yang berpengalaman. Hanya dengan demikian saya akan lebih berguna bagi rekan-rekan yang lain, terutama yang masih junior. Saya dan rekan-rekan yang lain berjanji pengorbanan itu tak akan sia-sia.

Kami pun menuntut ilmu hingga ke gunung-gunung tertinggi dan hutan-hutan yang kelam di pelosok nusantara. Seluruh kesakitan, rasa lelah dan lapar seakan tak pernah saya pedulikan sejak saat itu. Beberapa diantara kami harus merasakan roboh hingga diopname dalam berbagai penjelajahan ke medan petualangan. Entah kena muntaber, malaria atau typhus. Namun hanya dengan militansi demikian saya merasa akan mempunyai kemampuan untuk suatu saat dapat menolong orang lain.

Ketika dalam suatu pendakian di gunung Argopuro kami sempat menolong sebuah tim yang tersesat, sebuah kelegaan membuncah di hati saya. Semacam perasaan haru yang aneh menyeruak hingga terasa panas didalam rongga dada.. Tuhan memberi saya kesempatan untuk menggunakan pengetahuan yang saya pelajari untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Tak ada yang lebih indah dari kejadian itu hingga saat ini.

Menunggu Kereta Terakhir


Ekspedisi lebih merupakan penjelajahan suatu ide daripada eksplorasi
sebuah tempat




Lepas dari dunia petualangan di kampus dan memasuki dunia kerja merupakan suatu tragedi. Seperti menyiramkan air pada bara yang masih menyala-nyala. Dengan enggan kami melangkahkan kaki meninggalkan lingkungan kampus setelah sekian lama. Namun itu adalah bagian dari fase perjalanan. Kita tak dapat berhenti di satu titik waktu bila tak ingin dilindasnya.

Saya pun perlahan surut meninggalkan dunia petualangan. Seperti karang yang dulu tegak menantang yang semakin lama semakin hilang digerus ombak. Dunia kerja membawa saya mulai keluar masuk gedung pencakar langit di metropolitan, sementara pencakar langit yang sesungguhnya tetap kokoh diselimuti salju tanpa terjamah nafas kehidupan.

Rindu petualangan

Sementara itu ekspedisi-ekspedisi dari kampus tetap berlanjut secara bergelombang sejak itu. Antara lain ekspedisi ke Bukit Daya, Carstenz , Tolaki Ulu dan Malaysia. Saya gembira melihat rekan-rekan di kampus tetap atraktif melakukan petualangan. Namun saya menyimpan kecemburuan tersendiri pada petualangan-petualangan yang mereka lakukan. Saya rindu pada jiwa yang merdeka, imajinasi yang bebas, sikap penuh militansi dan larut dalam persahabatan. Saya hanya dapat membayangkan pacuan adrenalin itu dari balik meja kerja dan tumpukan kertas yang membosankan. Tak makan waktu lama bagi saya untuk segera terserang sindrom Senin pagi yang akut sejak mulai bekerja.

Tentu saya tak benar-benar hendak melupakan dunia petualangan. Setidaknya setahun sekali saya selalu mencoba menyempatkan diri naik gunung atau sekedar hiking. Namun sekedar untuk menyegarkan diri dari kehidupan kota besar. Lagipula waktu yang tersedia hanyalah di akhir minggu saja.

Ekspedisi terakhir

Saya merindukan sebuah penjelajahan yang kembali menguras adrenalin, setidaknya untuk yang terakhir kalinya. Saya mencoba rutin berolahraga, lalu setahun sekali melemaskan otot-otot ke pegunungan antara lain untuk memelihara kondisi agar suatu saat dapat kembali melakukan ekspedisi yang sesungguhnya. Di saat itu saya ingin melepaskan sisa-sisa energi dan ambisi yang tersisa.

Tentu saya maphum kondisi fisik sudah jauh dari prima. Pundak pasti tak kan lagi kuat memikul carrier 90 liter selama berhari-hari. Insting di pegunungan perlahan sudah memudar. Sementara tubuh pun kini semakin cengeng pada hawa menusuk dan guyuran hujan. Namun petualangan yang akan datang lebih merupakan sebuah perjalanan spiritual.

Saya merasakan momen itu akan datang pada suatu saat, seperti ketika kita di stasiun sedang menunggu kedatangan kereta yang terakhir. Yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu hingga saatnya tiba. Tak masalah pukul berapa kereta tiba karena kita tak sedang membicarakan waktu disini namun sebuah tempat tujuan. Kereta terakhir itu akan membawa saya ke tempat tujuan dan disaat kereta tiba akan ada rekan-rekan saya di dalam gerbongnya. Bersama mereka saya akan melakukan ekspedisi untuk terakhir kalinya.

Lewat Tengah Malam

Malam diciptakan untuk tidur


Bagi siapapun malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan terlelap, saat tubuh memulihkan kondisinya setelah seharian beraktivitas. Masa tesebut merupakan momen paling privat bagi setiap orang dimana ia tak mengharapkan adanya gangguan. Adrenalin dan sistem alert tubuh pun mencapai kadar terendahnya ketika malam semakin larut menuju dinihari. Tak heran bila momen ini menjadi waktu favorit bagi militer untuk melakukan serangan, di saat musuh sedang berkurang kewaspadaannya. Ingatkah anda pada serangan fajar ketika pasukan RI menyerang Yogya pada serangan umum 1 Maret? Maling pun memanfaatkan waktu ini untuk menjalankan aksinya, demikian pula para suami kerap menjalankan serangan fajar ini.

Namun saat masih larut di aktivitas outdoor, kita tak peduli pada pakem untuk beristirahat ini. Kondisi chaos di lapangan menuntut sistem alert tubuh terus berjaga. Untuk menikmati sunrise di puncak gunung, summit attack biasanya dilakukan dengan pola perjalanan malam atau serangan fajar. Demikian pula saat medan operasi, kegiatan kampus atau sekedar larut dalam suasana sekretariat.

Pola interaksi itu membuat ikatan pertemanan yang apa adanya. Kita menjadi nothing to lose dalam menampilkan kepribadian seadanya saja. Toh, muka sesegar apa yang diharapkan terlihat pada jam dua dini hari. Pikiran sejernih apa yang diharapkan tercetus pada jam 12 malam. Berita paling menghibur apa yang diharapkan terdengar dari dering telepon di tengah malam. Atau kopi senikmat apa yang bisa dihirup jam 4 subuh...Maka kita mungkin akan bisa mentolerir beberapa error dan malfungsi yang kadang muncul di saat-saat demikian

Terjaga di larut malam juga membuat kita bersentuhan dengan mereka yang mengais rejekinya hingga menjelang pagi. Di sela-sela menyantap roti bakar atau indomie rebus kala malam semakin membatu, kita menyaksikan dunia yang tak jua berhenti. Kebanyakan dari mereka datang dari strata ekonomi yang lemah, seperti pedagang kecil di pasar, tukang nasi goreng keliling, warung indomie, pemulung, hansip atau supir angkot yang ngalong. Dari mereka kita menyaksikan semangat baja untuk tak menyerah pada kerasnya kehidupan. Demi sesuap nasi, disaat yang lain sudah naik ke peraduan mereka tetap membanting tulang mengais selembar rupiah demi keluarganya.

Dulu hal kehidupan malam demikian adalah sesuatu yang wajar saja karena merupakan bagian dari keseharian. Setelah masa itu terlewati, waktu nine to five itu kini bisa dilewati dengan nyenyak. Delapan jam dilewati dengan tidur pulas dan bunga-bunga mimpi tanpa mengharap adanya interupsi. Entah apakah kini para mantan anak rembulan itu masih sempat melihat bulan yang bersinar cemerlang di larut malam. Apakah mereka masih sempat melihat terangnya Venus di ufuk Timur, dan kembali menjadi saksi cerita-cerita misteri di kampus.

Namun saya yakin, walaupun era itu telah lama berlalu semangat persahabatan tetap bersemayam. Dan spirit itu lah yang akan mengatasi berbagai ketidaknyamanan yang terasa bila muncul situasi. Entah sebuah berita darurat atau sekedar curhat. Berbeda dengan dulu, kini tentu saja ada sedikit rasa sungkan saat akan menghubungi sejawat di larut malam untuk meminta pertolongan. Saya pun akan sedapat mungkin menyelesaikan kesulitan tanpa merepotkan orang lain.

Namun sebetulnya it’s ok .. it is very very okay ... bila kita harus membangunkan sejawat di malam buta sekalipun karena sebuah kesulitan. Tanpa ada pamrih apapun, mereka akan bergegas datang walau harus menerpa badai sekali pun. Itu adalah sebuah kekayaan tersendiri, salah satu paling berharga yang kita miliki. Senjata terakhir yang tak setiap orang memilikinya. Saya tak akan mengijinkan sekedar rasa ketidaknyamanan merampas hal itu. Lee Iacocca, seorang CEO termasyur, berujar “My father always used to say that when you die, if you’ve got five real friends, then you’ve had a great life.

Jadi, berbahagialah bila pada suatu malam yang telah membatu, sebuah dering ponsel atau SMS dari seorang rekan mampir di kehidupan anda. Sebuah suara tergesa-gesa, informasi yang kabur, atau bahasa yang tercekat-cekat. You still have a friend...

Mendaki dengan Kerendahan Hati

Kerendahan hati mengalirkan kebaikan


Mendaki gunung adalah peristiwa yang menakjubkan. Bagi mereka yang pernah berdiri di puncak tertinggi, pasti merasakan hati yang berdesir saat menyaksikan salah satu pemandangan paling menakjubkan seumur hidupnya. Sensasi untuk berdiri di titik paling tinggi merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang tak terungkapkan. Semua rasa lelah dan penderitaan dalam menempuh perjalanan berat penuh bahaya seolah tiada berarti.

Selama dalam perjalanan maupun saat di puncak, akan terbukalah mata hati betapa kecilnya manusia dibanding keperkasaan alam dan Sang Pencipta. Siapapun akan tertegun melihat landscape keindahan tiada tara yang dapat disaksikan dari puncak gunung. Karya arsitektur manusia paling memukau sekalipun seperti tak berharga dibandingkan kontur alam yang menakjubkan ini. Menyaksikan sun rise dari puncak gunung adalah momen paling sulit untuk membendung takjub, terpukau oleh fenomena yang mengaduk-aduk emosi.

Alangkah tak wajar bila seorang pendaki malah menjadi tinggi hati setelah melakukan pendakian. Bukankah hanya dengan keramahan dan kelembutan alam saja seorang pendaki dapat menapaki jalan ke puncak. Banyak pendakian yang berakhir tragis, saat alam menjadi tak ramah. Sanggupkah kiranya mahluk lemah seperti manusia berkutik menghadapi kekuatan alam yang tak tertakar? Seorang pendaki sejati pulang dengan kerendahan hati yang semakin membuatnya terpekur.

Edmund Hillary yang merupakan pendaki pertama yang mencapai puncak tertinggi di dunia adalah sebuah contoh kerendahan hati itu. Ia selalu menyebut dengan “kami” dalam pemuncakannya yang legendaris di Everest. Baru sekian tahun setelah Tenzing Norgay – sherpanya saat detik-detik pemuncakan Everest- meninggal, Hillary mengakui bahwa ialah yang pertama mencapai puncak tertinggi di dunia itu.

Hilary pun tak sekedar mendaki Everest, yayasan Himalayan Trust yang didirikannya membantu membangun rumah sakit, sekolah, sarana kesehatan, jembatan bahkan landasan pesawat yang sangat membantu masyarakat sherpa di Kumbu, Nepal. Hingga akhir hidupnya Hillary tetaplah seorang yang rendah hati dan gemar hidup sederhana.

Padahal pendaki yang memiliki raut muka sekeras batu karang ini bagai pusaka nasional di negaranya, Selandia Baru.

Kata-katanya amat berpengaruh dan dihormati. Ratu Inggris menganugerahinya gelar Sir dan wajahnya pun diabadikan dalam lembaran kertas lima dolar mata uang Selandia Baru. Para pemandu profesional yang biasa mengantar tim ke Everest pernah kelabakan ketika Hillary mengkritik komersialisasi Everest dan menyebutnya sebagai “penghinaan pada gunung tersebut”. Sang legenda Everest ini begitu menghormati Himalaya dan kehidupan di sekitarnya. Sir Edmund Hillary wafat tanggal 11 Januari 2008 lalu dengan meninggalkan banyak kenangan dan jejak kebaikan.

Saya rasa tak penting menceritakan berapa kali kita telah mendaki sebuah gunung atau kemana saja kita telah melakukan pendakian. Namun apakah kita menjadi pribadi yang lebih baik setelah melakukannnya. Apakah kita telah memberikan manfaat bagi sesama dan menjadi pribadi yang indah bagi orang lain. Saya teringat segelintir pahlawan yang selalu enggan membicarakan jasa-jasanya bila ada yang bertanya. “Biarlah Tuhan saja yang menilai”, tuturnya. Menakjubkan.

Sang Penakluk dan Sang Pencinta

Kau tidak pernah menaklukan sebuah gunung.

Kau hanya berdiri di puncaknya selama beberapa detik.

Kemudian tiupan angin menghilangkan jejak-jejak kakimu.



Ide untuk menaklukan alam merupakan obyek pemikiran manusia yang abadi. Manusia seakan tak rela ada kekuatan besar yang membuat ego mereka seperti tak berdaya. Maka berangkatlah para pionir dengan gagah berani untuk menaklukan final frontier dimanapun di segala penjuru bumi. Alam yang ganas harus dapat ditaklukan untuk kemaslahatan umat manusia. Seakan bumi yang lapang terlalu sesak bagi dua kekuatan besar alam dan manusia untuk saling berbagi. Seakan hanya boleh ada satu kekuatan saja yang dapat menguasai bumi, yaitu manusia.

Namun para petualang dan pionir yang pergi menjelajah bukannya tak menyadari kepongahan awal mereka. Para pemberani itu segera mendapatkan hikmah dari penjelajahannya bahwa alam tak dapat dilawan bahkan ditaklukan, manusia hanya bisa berdamai dengan kekuatannya. Yang perlu ditaklukan adalah ego yang menguasai diri manusia itu sendiri, dan alam adalah guru yang baik untuk mengajarkan hal itu. Sir Edmund Hillary – pendaki pertama yang mencapai Everest - menyadari betul hal itu ketika berkata ,” It is not the mountain we conquer, but ourselves...”.

Para penakluk

Kutub Utara berhasil ditaklukan oleh Robert Peary pada tahun 1909 dan kemudian pada tahun 1911 Kutub Selatan menyusul berhasil ditaklukan oleh Amundsen. Ketika itu, Everest kerap dijuluki sebagai Kutub Ketiga yang merupakan kontur bumi paling menarik untuk dijelajahi. Setiap pendaki profesional mendambakan suatu saat dapat menaklukan puncak tertinggi di dunia itu.

Kemudian setelah Hillary dan Tenzing berhasil menjejakkan kaki mereka di puncak Everest, semua bertanya-tanya penjelajahan ekstrim apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Dick Bass dan Pat Morrow memunculkan wacana Seven Summits yang bertujuan mengoleksi tujuh puncak tertinggi di tiap benua. Adapula ide untuk mendaki keseluruh 14 “puncak kematian” di gunung-gunung berketinggian diatas 8000 meter di Pegunungan Himalaya.

Tercatat hanya lima orang pendaki di dunia yang berhasil mengoleksi keseluruh 14 puncak yang merupakan piala paling didamba para pendaki elite itu. Reinhold Messner, pendaki pertama yang berhasil memuncaki keempatbelas gunung kematian itu, menyebutkan bahwa tantangan sesungguhnya pada pendakian puncak 8000 meter adalah pendakian yang dilakukan tanpa alat bantu oksigen. Itulah batas ketahanan maksimal seorang pendaki. Entah ide “gila” apa lagi yang akan muncul kemudian untuk menjajal keperkasaan alam.

Menaklukan alam seperti mendaki puncak-puncak gunung merupakan ide yang menggoda para petualang. Namun jauh hari setelah melewati berbagai petualangan barulah mereka menyadari bahwa manfaat sebenarnya dari perjalanannya itu bukanlah masalah menaklukan alam, karena kekuatan alam terlampau besar untuk dilawan. Menaklukan diri sendiri merupakan pencapaian tertinggi dari perjalanan itu, dan Sang Alam lah guru yang mampu memberi petunjuknya.

Mencintai alam

Banyak pendaki yang pergi untuk menaklukkan puncak gunung hanya untuk suatu saat kembali padanya. Apakah anda hanya mendaki gunung Gede atau berarung jeram di sungai Cimanuk hanya sekali saja seumur hidup? Tidak, ada hasrat yang mendorong petualang kembali kesana. Mungkin ketika pertama kali melakukannya kita merasa tertantang untuk menaklukan puncak gunung setinggi 2.958 m atau jeram dengan grade 3-4 itu demi memuaskan ego. Namun ketika mendatangi untuk kesekian kalinya, baru kita tersadar bahwa rasa cintalah yang membawa kembali kesana. Dan ketika rasa cinta telah menjalari, tak sebersitpun terpikir untuk menaklukan. Hanya ada kerinduan yang sangat dan kegelisahan yang menyiksa untuk dapat bersua.

Para petualang menyadari hal itu sehingga tak pernah mengharapkan balasan apapun dari sang alam selain dapat sekedar kembali bercengkerama dengannya. Saya yakin bahwa ketulusan untuk mencinta tak pernah sia-sia. Maka ketika kita menjelajahi alam dengan rasa cinta alam yang sesungguhnya, alam pun membalas sepenuhnya.

Sang alam berbinar-binar ketika petualang melewati berbagai tempaan berat hanya untuk mendatanginya kembali. Siapakah yang tak bahagia didatangi oleh kekasihnya? Terkadang sang alam memang menghadirkan badai dahsyat dan bencana, bukan untuk mencelakakan namun hanya untuk memberikan kekuatan lebih pada petualang. Bukankah dengan demikian mereka akan menjadi lebih tabah, arif dan matang.

Cinta yang agung

Maka ketika ada insan petualang yang roboh di gunung tinggi atau tewas ditelan jeram, tak hanya sesama manusia yang meratapi kehilangannya namun sang alam pun menangis sendu. Sosok jenazah itu ia peluk dengan doa-doa dan keharuan yang mendalam sebelum sesama manusia menjemputnya untuk ditempatkan di peristirahatan yang terakhir. Hingga kini pun masih banyak sosok insan petualang yang gugur tak diketahui rimbanya. Barangkali sang alam masih teramat mencintai mereka dengan alasan yang tak dapat kita pahami.

Ada aura percintaan misterius yang terjalin antara sang petualang dan alam yang didatanginya. Mereka yang pergi melakukan petualangan seperti mendaki gunung atau mengarungi jeram berpikir telah melakukannya dengan cinta. Barangkali mereka tak pernah tahu bahwa sang alam menyayangi mereka dengan berlipat-lipat. Cintanya yang besar kepada manusia tak akan pernah habis. Ia bahkan selalu melindungi mereka dari kekuatannya sendiri yang maha penghancur.

Dan bila Tuhan memerintahkannya mengambil nyawa mereka, sang alam pun dengan bersujud membelai mereka sebelum menyerahkan nyawa para manusia terpilih itu pada Sang Pencipta. Sang alam melakukannya dengan tersenyum, karena saat itu ada cinta lebih besar yang datang bagi manusia. Ia tahu Tuhan memerintahkannya mengambil hidup manusia karena suatu kecintaan yang lebih agung dan tak tertakar. Lebih dari semua cinta yang dapat ia beri kepada manusia.

Tempat yang Tak Nyaman

Tuhan menyembunyikan berbagai hal

dengan cara menaruhnya di dekat-dekat kita

(Ralph Wado Emerson)




Tempat yang tinggi di pegunungan dan alam liar bukanlah lokasi yang layak dan nyaman bagi manusia untuk hidup, bahkan sementara waktu sekalipun. Apalagi kita yang sudah terbiasa dengan berbagai kemudahan dan kemanjaan kota besar. Bahkan puncak-puncak gunung adalah dunia yang tidak diciptakan untuk dapat ditinggali manusia. Tidak ada air, tidak ada kehidupan. Hanya ada udara tipis membeku, badai dan kematian yang perlahan. Namun puncak-puncak gunung bagaikan magnet bagi sebagian orang. Mereka menanggalkan berbagai kenyamanan yang disediakan kota metropolitan, lalu pergi meniti bahaya dan berkelit dari maut di alam liar.

Saya sungguh meragukan bila ada yang bercerita bahwa tidur dalam sleeping bag beralaskan matras di dalam hutan lebih nyaman daripada terlelap di kasur empuk. Atau terduduk di dalam tenda dome yang sempit sambil mengunyah roti yang mulai tak karuan rasa dan bentuknya terasa lebih nikmat dibanding bersantai di kursi sofa sambil menonton DVD ditemani snack dan secangkir coklat hangat. Sekali-sekali melewatkan malam di alam liar tentu saja menyenangkan namun tak terbayangkan bila menjalaninya setiap hari.

Simak saja apa yang dikatakan Eric Shipton seorang pendaki Everest yang termashyur, Saya ragu ada orang yang menikmati kehidupan di tempat tinggi ... yang terburuk adalah munculnya perasaan tak berdaya total dan perasaan tidak mampu untuk menghadapi setiap keadaan darurat yang mungkin terjadi... satu-satunya keinginan saya adalah menyelesaikan tugas celaka ini untuk kemudian segera turun ke tempat yang lebih layak”.

Menjelang ekspedisinya ke kutub Antartika, seorang penjelajah kutub termashyur, Ernest Shackleton, memasang iklan dengan menggambarkan kondisi sebenarnya suatu penjelajahan. Berikut isi iklannya :

- Dicari orang untuk perjalanan berbahaya dengan gaji kecil.

- Siap menghadapi udara beku dan kegelapan total selama berbulan-bulan.

- Berani menempuh bahaya yang tak ada habisnya.

- Kemungkinan untuk tidak kembali dengan selamat.

- Namun akan memperoleh penghormatan dan pengakuan bila berhasil.

Meskipun iklannya begitu mengerikan, Shackleton memperoleh respon yang sangat melimpah. Untuk sebuah penghormatan dan pengakuan, banyak orang ternyata siap berkorban nyawa.

Beberapa kali saya berada dalam kondisi camp yang tak nyaman dalam arena petualangan di alam liar. Kadangkala kontur pada ketinggian di pegunungan tak cukup luas untuk mendirikan sebuah tenda dome, sementara kondisi tubuh sudah harus beristirahat. Terpaksa tim hanya menggelar flysheet sebagai perlindungan di ketinggian 3000-an meter yang hawanya amat menusuk. Ketidaknyamanan ini akan bertambah bila hujan deras mengguyur karena air akan membasahi kemana-mana.

Sering terjadi juga bahwa istirahat hanya dilakukan sesekali saja dalam perjalanan malam. Akibat kantuk yang tak tertahan, terpaksa tidur ayam dilakukan sambil terduduk di sepanjang jalur pendakian. Setelah terlelap beberapa menit, perjalanan kembali dilanjutkan menuju puncak. Jangan tanya apakah tidur bisa nyenyak dalam kondisi istirahat seperti demikian. Begitu tubuh terlelap sejenak, hawa dingin yang menusuk segera menerkam dan membangunkan kita.

Pernah pula tim seharian hanya menggelar ponco sebagai camp, di antara semak-semak tajam dan sarang semut merah di tepi muara sungai. Kami tak dapat bergerak melanjutkan perjalanan karena terhadang muara yang meluap deras akibat badai. Karena sempitnya lahan, masing-masing hanya dapat berisitrahat dalam kondisi duduk. Di tengah hujan yang mengguyur deras, satu-satunya kehangatan hanyalah saling mendekatkan diri agar badan yang basah terasa sedikit hangat. Kami pun harus berhati-hati sekali dalam memasak agar api tak membakar tangan atau kaki anggota tim lainnya.

Para pemanjat tebing tidur diantara celah bebatuan yang sempit sehingga harus memakai pengaman agar tak jatuh. Bahkan terkadang mereka hanya memakai hammock untuk tidur bergelantung di tebing vertikal yang menjulang. Sementara caver akan terpaksa melewatkan masa istirahatnya di kegelapan buta diperut bumi, dalam suasana lembab, basah dan kotor.

Nah, masih kah anda mempunyai alasan untuk tetap pergi menjelajah ke alam liar, di tengah berbagai konsekwensi ketidaknyamanan tersebut? Anehnya..., berbagai alasan itu akan segera anda dapatkan.

Mengembara Menemukan Diri

Seperti Columbus, berjalan terus ke depan

kembali ke sini

Seperti Rumi, batin mengembara jauh

bertemu diri sendiri

Musim pengembaraan adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh para petualang di kampus. Mereka telah dibekali skill yang cukup untuk mengexplorasi medan blank spot apapun di bumi nusantara. Maka musim pengembaraan adalah sebuah momen untuk mempraktekan skill yang telah diwariskan para pemburu tua secara turun menurun.

Namun ketika saatnya memulai seringkali hal-hal diluar dugaan terjadi di tengah perjalanan, di akhir perjalanan bahkan di awal saat kita melakukannya. Pada saat itu terjadi, skill teknis bukanlah hal utama dan seringkali tidak membantu namun kematangan pribadilah yang mulai ditempa. Mereka belajar untuk melihat sesuatu yang tak tampak, mendengar suara-suara yang tak terucapkan dan mengendapkan ego-ego yang paling liar.

Begitulah, apa yang terjadi ketika melakukan pengembaraan seringkali di luar apa yang diperkirakan sebelumnya. Seorang rekan pernah bergumam ,”..bila sesuatu di luar dugaan terjadi, saat itulah petualangan dimulai. Karena bila semuanya terjadi sesuai prediksi dan perkiraan di awal, itu bukanlah petualangan sesungguhnya.”

Pegunungan Iyang

Bagi masyarakat Jawa Timur pegunungan Iyang atau populer dengan sebutan gunung Argopuro sudah tidak asing lagi. Pegunungan ini memiliki 12 puncak, yang tertinggi adalah yang disebut puncak Rengganis (3080 m). Pegunungan ini menyimpan legenda penuh misteri mengenai Dewi Rengganis nan cantik yang mengasingkan diri dengan membangun istana di puncak sunyi yang jauh dari peradaban.

Berbeda dengan gunung-gunung lain di Jawa yang biasanya memiliki jalur pendakian agak curam, gunung Argopuro memiliki keunikan tersendiri. Jalanan yang panjang berliku-liku serta naik turun mewarnai rangkaian perjalanan menuju puncak. Tak heran apabila perjalanan menuju puncak bisa memakan waktu 2-3 hari dari desa Baderan.

Setelah melewati kerimbunan hutan dengan vegetasi yang beragam, terbentanglah padang luas nan indah. Pemandangan menakjubkan bagai padang rumput di Afrika akan terlihat di sini. Padang rumput datar dan teramat luas, sehingga pernah direncanakan untuk pembangunan lapang terbang jaman kolonial. Landing strip yang ditinggalkan bekas proyek pembangunan itu masih dapat dilihat. Konon salah satu penyebab proyek pembangunan ini tidak dilanjutkan karena banyaknya gangguan yang gaib menimpa para pekerja. Medan pegunungan yang khas ini telah menarik tim pengembaraan di bulan Agustus 1995 dengan tujuan gunung Raung dan Argopuro.

Search and rescue

Dalam perjalanan di gunung Argopuro tanpa sengaja tim terlibat dalam suatu usaha search and rescue yang dramatis. Selepas sungai Cikasur yang jernih, perjalanan di padang edelweiss yang tinggi dan semak yang lebat memang terkadang membingungkan. Pada keheningan desir angin, samar-samar terdengar suara seperti bisikan-bisikan. Walau sering terjadi sebelumnya, kali ini tim berupaya melacak asal suara. Andai itu hanyalah bunyi alam maka pencarian hanya akan menghambat perjalanan beberapa lama. Namun bila suara itu berasal dari sesama pendaki yang memerlukan pertolongan maka kedatangan kami akan sangat berharga.

Ternyata pencarian tidaklah sia-sia karena setelah sekian lama melakukan pencarian tim menemukan sekelompok pendaki lain yang tersesat. Menurut keterangan mereka telah beberapa hari tersesat dan hanya berjalan berputar-putar. Persediaan air telah habis sama sekali dan beberapa telah tampak down sehingga tampak sekali memerlukan pertolongan.

Merupakan hal yang melegakan bagi tim pengembaran saat itu –bila tidak membahagiakan- mengetahui bahwa apa yang mereka kerjakan dapat berguna bahkan menyelamatkan orang lain. Maka anda tak perlu heran ketika tersiar kabar bahwa ada pendaki hilang atau kecelakaan di suatu gunung, akan selalu ada sukarelawan tak terhitung jumlahnya yang bersedia bergegas mengepak perlengkapan pendakiannya untuk segera membantu.

Tentu saja tak semudah itu sebuah operasi SAR akan dijalankan, namun saya selalu menangkap aura solidaritas yang tinggi di antara para pendaki bila sejawatnya memerlukan bantuan. Dan saya rasa itulah modal utama sesungguhnya untuk melakukan operasi SAR, karena tanpa solidaritas yang tinggi dan rasa persaudaraan yang besar antar mereka maka secanggih apapun suatu operasi SAR belum tentu optimal manfaatnya.

Menjemput Bidadari Maut


A true hermit goes to the wilderrness to find not to lose himself


Dalam sebuah epos Ramayana dikisahkan seorang ksatria mendatangi istana kediaman Prabu Arjuna Sasrabahu. Sang Ksatria meminta diijinkan untuk bertarung dengan Sang Prabu yang tersohor sebagai raja yang sakti mandraguna di seantero jagad pewayangan untuk menjajal kesaktiannya.

Sang Prabu tidak serta merta menyambut tantangan tersebut, dengan cemas ia bertanya ‘”Wahai ksatria, engkau telah memiliki kesaktian yang luhur. Tidakkah itu telah mencukupimu. Bagaimana bila engkau dijemput bidadari maut dalam pertarungan nanti?”

Ksatria dengan lantang menjawab, “Sebagai seorang pendekar hamba akan bangga bila mati di medan laga. Itulah tempat paling pantas bagi seorang pendekar meregang nyawa dan akan merupakan sebuah kehormatan bila ajal hamba ada di tangan Paduka Prabu yang tersohor sakti mandraguna yang telah mengalahkan Rahwana sang angkara murka.”

Sang Prabu menghela nafas panjang mendengar jawaban ksatria itu. Ia tak kuasa menolaknya dan berjanji akan melayani permintaan sang ksatria keesokan hari.

Ambisi pendakian

Setiap manusia selalu memiliki ambisi dalam memuaskan keinginannya dan itu sama sekali bukan hal buruk. Tanpa ambisi kita tak akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki hingga tak tahu sampai mana sebetulnya batas kemampuan kita. Namun ambisi harus ada batasnya, kita harus dapat menyadari batas imajiner itu. Bila tidak berhenti di saat yang sewajarnya, ambisi hanya akan membakar setiap orang dan menutup pintu hati serta memalingkan akal sehat. Dalam kondisi itu konsekwensi paling fatal hanyalah menunggu waktu.

Setelah puncak Everest berhasil didaki, muncul kemudian wacana Seven Summits yang bertujuan mengoleksi tujuh puncak tertinggi di tiap benua. Kemudian populer pula ide untuk mendaki keseluruh 14 puncak yang berketingian diatas 8000 meter di Pegunungan Himalaya. Lalu seorang Reinhold Messner menyebutkan bahwa tantangan pendakian sesungguhnya pada puncak 8000 meter adalah pendakian yang dilakukan tanpa alat bantu oksigen.

Sementara gunung yang perkasa dengan bijak membisikkan petatah-petitih kepada setiap pendaki yang mengunjunginya. Sang gunung sebenarnya dapat saja memunculkan murkanya yang dapat dengan mudah membinasakan mereka. Namun ia lebih sering dengan amat sabar dan lembut bercengkerama dengan para pendaki, bahkan kepada mereka yang hanya datang untuk mengusiknya sekalipun. Seperti Sang Prabu, ia selalu menyerahkan kepada para pendaki untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Bidadari kematian

Seorang sering dikenang sebagai heroes saat menghembus nafas terakhir di profesinya berkiprah. Tentara yang gugur di medan tempur. Polisi yang gugur dalam adu tembak dengan bandar narkoba. Nelayan yang tertelan ombak samudera. Pembalap yang mengalami tabrakan di sirkuit. Petualang yang meregang nyawa di medan petualangannya.

Seperti juga individu di profesi lainnya, seorang pendaki sering merasakan eforia dalam menilai kematian yang terjadi di kancah tempat biasanya mereka berkiprah yaitu di ketinggian ekstrim pegunungan. Seringkali seorang pendaki bercerita penuh keyakinan akan sebuah kematian yang terhormat dan didambakan, di suatu tempat pada ketinggian ekstrim. Seorang “pendaki sejati” akan rela mati di pelukan hawa beku pegunungan.

Namun benarkah mereka akan merasakan hal yang sama bila para bidadari kematian benar-benar telah menari disekelilingnya. Tak ada petualang yang berharap meninggal ketika akan pergi ke medan petualangannya. Tak ada petualang yang pergi ke gunung, gua atau tebing seraya berharap itu akan menjadi petualangan terakhirnya.

Kita amat menghormati para rafter yang wafat di sungai Citarum, Krueng Tripa maupun van der Wall. Juga kita menundukkan kepala bagi para pendaki yang wafat di Leuseur, Jayawijaya, Aconcagua dan semua gunung tinggi. Namun bukan kuasa kita untuk menilai bahwa mereka mendambakan kematiannya di tempat itu. Kecelakaan tersebut merupakan tragedi yang sedapat mungkin selalu dihindari oleh tiap petualang.

Menuntaskan peran

Setiap orang selalu punya pilihan dalam menuntaskan peran di panggung kehidupan. Alangkah indahnya bila seorang petualang dapat mewariskan pengetahuan dan kebijaksanaan yang didapatnya dari alam kepada anak cucu hingga usia tuanya. Untuk dapat menuntaskan peran hingga di usia tua, tentunya diperlukan tanggungjawab jauh lebih besar. Ia harus mengerahkan sampai akhir segenap perjuangan dalam menjalani Sang Hidup.

Sebagai manusia biasa yang sering larut dalam kesehariannya, seorang petualang kadang terbuai dalam eforia dan khilaf untuk menilai tempat dan peran manusia. Bukan kapasitas kita sebagai manusia untuk menilai Sang Maut dan mengidam-idamkannya. Saat waktunya tiba, tak seorang pun akan siap menghadapinya. Ia berada di luar jangkauan kita untuk memahaminya. Cukuplah bagi kita menjalani hidup ini dengan penuh penghargaan.

Badra Surya Membelah Tanah Jawa

Aku merasakan di dalam diriku tumpukan energi sangat besar

yang tidak menemukan penyaluran

di dalam kehidupan kita yang tenang (Tolstoy)


Pada tahun 1990-an KA Badra Surya adalah kereta api kelas ekonomi dari Stasiun Bandung di Kebon Kawung menuju Stasiun Surabaya Gubeng. Trayek panjang ini populer bagi para petualang di kampus sebagai moda transport paling terjangkau untuk menuju the final frontier. Kereta api kelas ekonomi ini memiliki andil dalam memberangkatkan tim-tim ke arah Timur, terutama pada kurun waktu go to east, saat masa perjalanan yang dilakukan para mahasiswa di kampus dalam mendaki gunung-gunung di kawasan timur.

Transportasi murah meriah

Bagaimana tidak ekonomis, pada saat itu hanya dengan Rp. 8.500,- para petualang kita sudah sampai di Surabaya dan dengan menambah Rp. 2.000,- lagi maka akan disambung dengan kereta ke Banyuwangi lalu dengan bis DAMRI menuju Denpasar. Berbagai gunung dengan ketinggian diatas 3000 meter di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan tujuan utama serigala-serigala muda kampus masa itu.

Transportasi yang murah meriah pada saat itu merupakan pilihan paling realistis bagi para mahasiswa untuk menuntaskan hasrat petualangannya. Lebih baik menyisihkan dana yang ada untuk mendapatkan logistik dan peralatan outdoor yang berkelas, sementara lamanya perjalanan bisa ditanggulangi dengan stamina yang memadai. Tak heran bila carrier dengan merek Karrimor atau Lowe, jaket berbahan Gore-tex dan kamera Nikon sudah sejak lama menemani perjalanan.

Stamina puncak dari tiap anggota tim amat diperlukan sepanjang perjalanan, agar tak drop sebelum pendakian dilakukan. Perlu waktu empat hari dari Bandung saat itu menuju dusun Pancasila di kaki gunung Tambora. Bandingkan kini dengan pesawat yang hanya perlu waktu 2,5 jam dari Jakarta ke Bima, kota terdekat dari dusun Pancasila.

Petualangan baru di jalan

Unsur petualangan justru amat kental di dalam perjalanan yang dilakukan dan bisa dikenang dengan geli dan penuh senyum. Akibat berangkat pada masa arus balik Lebaran 1995, tim yang berangkat ke Kerinci terpaksa berdesakan dalam bis transmigran saat perjalanan menuju kota Bangko, terminal bis AKAP di Jambi. Tak hanya memuat para transmigran, hewan-hewan peliharaan pun ikut menambah hiruk pikuk suasana dalam bis. Untuk menuju kaki Tambora dari kota Dompu, tim harus menumpang truk terbuka dengan alas duduk yang hanya balok kayu selama delapan jam. Sedangkan pos Ranupane di kaki gunung Semeru dicapai dengan tiga jam menumpang jip bak terbuka yang dijejali 15 orang.

Sementara suasana tegang di terminal maupun stasiun sungguh tak terhitung. Dari kejar-kejaran dengan preman, bersitegang dengan calo atau Polsuska sampai kasak-kusuk ke loket karena karcis sudah habis. Namun banyak pula bantuan-bantuan yang didapatkan secara tulus dan menggetarkan, seperti perahu-perahu nelayan yang turut membantu dalam penyeberangan muara-muara sungai.

Transportasi laut pun tak kalah seru dan ekonomis. Armada kapal laut Pelni dari Tanjung Priok maupun Tanjung Perak seperti KM Binaiya, Rinjani, Umsini dan sebagainya merupakan langganan para young guns menyeberangi Laut Jawa menuju Kalimantan dan Sulawesi. Tak jarang demi efisiensi waktu, perjalanan menyeberangi selat seperti di Selat Sumbawa ditempuh dengan kapal motor kayu yang berlebih muatan, sehingga amat rawan bila cuaca buruk.

Bahkan tim pengembaraan Ujungkulon selama beberapa hari menumpang kapal barang yang mensuplai logistik antar mercusuar pulau terluar di Samudera Hindia, agar dapat keluar dari neraka badai di Semenanjung. Saya sempat terkesiap ketika beberapa waktu lalu profil kapal barang Panca Masa itu diangkat oleh Metro TV. Kembali terbayang deburan ombak besar Samudera Hindia serta angin kencangnya yang amis. Sejenak saya merasa berada diantara gelombang yang liar, awak kapal yang tangguh dan awal sebuah persahabatan penuh karakter.

Hikmah di perjalanan

Tentu saja semua aroma petualangan itu takkan terasa bila anda memiliki cukup kemewahan untuk memilih moda transport yang nyaman. Kereta Api executive kelas Argo jelas merupakan pilihan bila cukup dana di kantong atau dengan menaikkan sedikit lagi anggaran maka tiket maskapai penerbangan low carrier cost bisa didapat supaya lebih menghemat waktu ke kota-kota tujuan. Bis-bis super executive pun siap mengantar ke kota-kota awal pendakian di Jawa-Bali dan Sumatera.

Namun para petualang dari kampus itu telah mendapat banyak hikmah dalam berbagai keterbatasan yang ada. Perjalanan-perjalanan yang panjang telah membuat hati mereka langsung bersentuhan dengan berbagai lapisan masyarakat, hingga yang paling marjinal sekalipun. Mata hati yang masih segar dan polos itu diperkenalkan kepada kerasnya kehidupan rakyat kecil, lalu dituntut untuk mengambil hikmahnya. Saya rasa inilah salah satu rahasia sang alam membimbing para serigala muda itu dalam melunakkan hati mereka yang sekukuh karang, selain men-drill mereka di medan operasi sesungguhnya.

Entah kini masih beroperasi atau tidak, namun moda transport irex (irit –ekonomis) seperti KA Badra Surya telah berjasa menghamparkan luasnya dunia petualangan kepada para marhaen muda. Dengan setia ia menuntun para petualang itu dari bayi yang tertatih-tatih untuk tumbuh menjadi serigala-serigala muda. Lalu menghantarkan mereka dewasa menjadi para singa, sang penguasa padang perburuan yang sesungguhnya.

Tak ada yang dapat menghalangi para petualang untuk sampai ke tempat tujuannya. Muara-muara sungai akan direnangi dan jurang pun dijembatani. Saat tak ada lagi alat transportasi, mereka akan tetap melangkah menuju tujuan. Bila melangkahkan kaki pun sudah tak sanggup, mereka akan merangkak dengan lututnya. Bahkan ketika lutut-lutut itu pun telah tak berdaya, mereka akan merayap dengan tangan-tanganya untuk menggusur tubuhnya menuju tempat tujuan. Moda transport sesungguhnya dari para pemilik jiwa yang resah itu adalah daya jelajah mereka sendiri, yang lahir dari keinginan yang kuat untuk memberi makna lebih pada hidup.